Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar
Tulisan ini akan sedikit mengulas pendapat
bandingan untuk artikel dengan judul, “Membongkar Tabu dalam Islam
Otoritarianisme dan Ketertinggalan” yang diterbitkan oleh
www.buletinaufklarung.com. Tentunya hal semacam ini merupakan iklim yang sehat
dalam dunia intelektual, jadi tidak ada maksud lain yang diharapkan oleh
penulis selain sama-sama belajar dan menggali sudut pandang.
Bila ingin membahas Islam sebagai ideologi
politik dan sistem pemerintahan, perlulah berangkat dari tolak ukur dan acuan
yang tepat. Acuan tepat yang dimaksud adalah melihat Islam sebagai ideologi
politik dan sistem pemerintahan dalam penerapannya di era Rasulullah SAW dan
para Khulafaur Rasyidin. Sebab hal-hal tersebutlah yang diwasiatkan selalu oleh
Rasul kita tercinta, agar senantiasa mengikuti sunnah beliau dan para sahabat
sebagai sebuah ketetapan hukum, baik yang sifatnya literal maupun kontekstual.
Adapun era Muawiyah, Abbasiyyah, sampai kepada Turki Utsmani tidaklah bisa
menjadi sebuah ketetapan hukum, melainkan hanya diambil sebagai sebuah
pelajaran yang perlu dikritisi oleh ummat sebagaimana yang telah dilakukan oleh
para ulama terdahulu.
Dalam sistem Islam, peran ulama dan umara
adalah dekat. Namun, kedekatannya tidak untuk berkoalisi memalak dan memeras
rakyat apalagi menjual aset negara kepada orang asing. Ulama yang baik akan
senantiasa menasihati pemimpin agar tidak melenceng dari syariat dan menerapkan
hukum sesuai Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Dalam era Muawiyah, kita dijelaskan
tentang ulama seperti apa yang harusnya dekat dengan penguasa dan harus dijauhi
oleh penguasa.
Hasan Bashri pernah dimintai pendapat oleh
gubernur Umayah untuk Irak, Umar bin Hubairah al Faraqi. Maka dengan tegas dan
lantang Hasan Bashri mengingatkan bahwa tidak ada ketaatan untuk siapapun dalam
bermaksiat kepada Allah. Ini bukan hanya berkisah, sebab tidak ada salahnya
jika manusia berkisah. Bahkan penelitian juga mengabarkan bahwa berkisah
menjadi salah satu medium terbaik mendidik manusia. Masalahnya tentu tidak
terletak pada berkisah atau tidak berkisah, tapi kisah yang seperti apa yang
harus disampaikan, fakta atau fiktif, agar tidak terkesan meromantisasi. Kisah
Hasan Bashri ini termasuk dalam fakta sejarah, banyak riwayat yang telah
menuliskannya secara kredibel dan otoritatif. Sehingga abai mempertimbangkan
kisah ini sama saja abai terhadap fakta, sebab bagaimana pun seorang Hegel juga
bersedia mengakui nilai kebenaran sebuah sejarah dalam “dialektika historis”-nya.
Bila sistem pemerintahan Islam disebut
otoriter hanya karena mengidentifikasi rezim Timur Tengah seperti Mustafa
Kemal, Reza Syah, Gamal Abdul Nasser, dan Habib Bourgiba, tentulah ini adalah
kesimpulan yang ahistoris. Sebab Mustafa Kemal adalah orang yang membuat Turki
menjadi sekuler dan menghapuskan Utsmani. Reza Syah sendiri beragama Syiah, dan
sistem pemerintahan syiah disebut Imamah bukan Khilafah. Gamal Abdul Nasser
merupakan seorang nasionalis Arab yang terkenal dengan ambisi menyatukan
seluruh dunia Arab, sementara sistem pemerintahan Islam bukan hanya untuk dunia
Arab saja. Habib Bourgiba pun tidak jauh berbeda, karena ia jelas-jelas tidak
menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan negara Tunisia, sedangkan
sistem pemerintahan Islam tidak mungkin memisahkan diri dari Al-Qur’an dan
Sunnah.
Rezim Baath di Irak dan Suriah tidak bisa
disebut sebagai sistem pemerintahan Islam, sebab sedari awal terbentuk tidak
sama sekali membawa Al-Qur’an dan Sunnah sebagai cita-cita. Partai Baath yang
mengilhami rezim otoriter di Irak dan Suriah dibentuk oleh Michel Aflaq,
penganut Kristen Ortodoks yang sempat aktif dalam politik komunis. Sampai
akhirnya Aflaq bertemu Gamal Abdul Nasser dan resmi menjalankan Baathisme yang
berhaluan nasionalis Arab. Maka perlu sekali membaca sejarah dengan teliti,
agar kesalahpahaman tidak menjadi warisan pincang dalam peradaban.
Mengimani Al-Qur’an wajiblah meyakini apa-apa
yang tertulis di dalamnya, baik yang gamblang maupun yang tersembunyi, yang
harfiah maupun maknawi, yang literal maupun kontekstual. Secara literal, dalil
tentang sistem pemerintahan Islam ada dalam Hadits Nabi. Namun, secara
kontekstual dalil tersebut ada juga dalam Al-Qur’an,
Comments
Post a Comment