Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar part II

 

ambil dari Reddit

Jika diberitakan bahwa sistem pemerintahan Islam menghasilkan pertumpahan darah dan perang saudara, tentu hal ini benar adanya. Hanya saja, apakah pertumpahan darah dan perang saudara tidak juga terjadi hari ini ?. Faktanya, perang abad modern jauh lebih kejam, ditengah ironi alat dan penemuan yang semakin canggih menjadikan kehidupan semakin damai, perang masih tetap tak terelakkan. Jika mau objektif dalam melihat fakta, cukup googling saja, perang yang banyak menewaskan korban jiwa justru perang dunia kedua, dan itu terjadi di dunia modern yang sekuler. Harap ingat hal ini baik-baik, pertumpahan darah itu ulah manusia, bukan karena agama, sebab agama manapun tidak pernah mengajarkan kekerasan. Jika masih ada yang berpikir bahwa dunia tanpa agama menjadi aman sentosa, ini adalah keliru, karena yang bermasalah bukan agamanya tapi manusianya. Selama masih ada manusia, di sana akan ada perang, dan ini sudah terbukti, ketika dunia hari ini memilih sekuler, nyatanya pertumpahan darah masih ada. Marilah kita buka sudut pandang yang baru nan objektif ketika melihat agama, karena sudut pandang yang melihat agama seolah haus darah dan menyiksa manusia adalah warisan Eropa, mereka yang punya mimpi buruk tentang agama di level politik. Anehnya, mimpi buruk itu dipaksakan kepada kita, seolah-olah umat Islam juga punya trauma yang sama ketika agama ada di level politik.

Religion is a nightmare for almost European people


Kesalahan yang sangat amat disesali dan harus menjadi refleksi oleh kaum muslimin saat membahas sistem pemerintahan Islam adalah ketika pengangkatan Yazid bin Muawiyah. Sebagaimana tertulis dalam kitab Hiqbah Min At Tarikh dan kitab-kitab Tarikh lainnya, pengangkatan Yazid sempat ditentang oleh para tabi’in, karena mereka melihat pengangkatan Yazid telah melenceng dari Sunnah Nabi dan Khulafaur Rasyidin, sehingga Abdurrahman bin Abu Bakar protes,
bal Hiraqla wa Qaisar, inna Aba Bakrin wallahi ma ja’alahu fi ahadin min waladihi, wa la fi ahadin min ahli baytihi (itu adalah sunnah Heraklius dan Kisra, sesungguhnya Abu Bakar, demi Allah tidak menjadikan (pemimpin) seorangpun dari anaknya, dan tidak menjadikan seorangpun dari penerusnya (ahli waris). 

Kisah protes ini diabadikan dalam kitab sejarah otoritatif oleh ulama sekaliber Imam Suyuthi, Ibnu Katsir, dan Az-Dzahabi. Konsekuensi pengangkatan khalifah yang tidak sesuai Sunnah Nabi dan Khulafaur Rasyidin membuat banyak masalah, mulai dari perang rebutan tahta sampai lolosnya pemimpin-pemimpin yang tidak cakap dan gemar maksiat. Semakin parah yang terjadi ketika ijtihad penguasa melenceng jauh dari Sunnah, seperti ijtihad Abdul Malik yang mengangkat dua putra mahkota sekaligus dalam suksesi, Harun Ar Rasyid pun melangkah pada kesalahan yang sama dengan mewasiatkan antrian untuk Al Amin dan Al Makmun dalam jalur suksesi. Tentu, hal inilah yang dicela para ulama.

Hanya saja, bila khalifah cakap memainkan peran sebagai pemimpin agama sekaligus pemimpin negara ia akan senantiasa membawa kebaikan untuk semesta alam. Tatkala citra buruk rezim Umayyah begitu melekat, kemunculan Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah menjadi bukti bahwa peran pemimpin yang dekat dengan agama dan cakap mengurus negara bisa memakmurkan manusia. Umar bin Abdul Aziz sangat mencintai Sunnah Nabi, sehingga keputusan politik dan pribadinya selalu di atas Sunnah, ijtihad yang dihasilkan pun menjadi sebuah kebaikan. Ulama-ulama yang baik dan para ahli hadits senantiasa berada di samping Khalifah, memainkan peran sebagai check and balances. Saking cintanya terhadap Sunnah Nabi, megaproyek pembukuan Hadits dimulai pada masa kepemimpinannya. Inilah yang menandai bahwa kesempurnaan sistem politik Islam, jika berada ditangan pemimpin yang hebat dan dijalankan dengan tepat, dapat membawa kemakmuran bagi seluruh bumi, rahmatan lil ‘alamin. Meskipun demikian, saat para Ulama mengkritik sistem pewarisan tahta dan putra mahkota yang lazim digunakan oleh Bani Umayyah dan Abbasiyah, faktanya, mereka bisa menyumbangkan titel “Islamic Golden Agedan mencatat nama peradaban Islam dalam nomenklatur keilmuan dan sains. Sementara di abad modern, saat politik menjadi dinasti, belum tentu hal semacam era Abbasiyah bisa terjadi. 

Lalu, keberhasilan seperti apa yang sudah dilakukan oleh sistem pemerintahan modern hari ini ?. Bahkan satu pemimpin yang baik saja tidak cukup untuk memakmurkan sebuah negara yang kaya di Konoha. Sebab, masalah dalam politik modern terletak pada sistem pemerintahannya, dibentuk sedemikian rupa agar sulit menggapai kemakmuran, kebebasan kepemilikan yang diusung dalam politik modern membuat satu orang bahkan satu keluarga bisa menguasai kekayaan ratusan ribu orang lewat sektor-sektor strategis yang menaungi hajat hidup orang banyak seperti sektor energi –yang hanya dimiliki keluarga tertentu, kesehatan, atau pendidikan. Dampaknya, sudah barang tentu kelanggengan dalam kesenjangan. Dalam iklim yang senjang itu, pemimpin baik yang terpilih pun mau tidak mau harus mencopot cita-cita baiknya, dan akhirnya mengikuti bagaimana “game diatur”. Ibarat pergi ke pasar tradisional yang becek, sudi tak sudi orang-orang yang hendak pergi ke sana harus melepas pakaian indahnya, mencopot sepatu bagusnya, dan menggantinya menjadi sandal dengan pakaian yang sederhana, karena efek psikologis dari sistem yang rusak mampu membuat manusia berbuat hal yang kemungkinan besar sama, sejalan dengan pendapat David Hume, “character is the result of a system of stereotyped principals”. Maka, seyogyanya right man in the right place, orang baik juga harus ada di iklim yang baik, agar segala perubahan baiknya didukung sistem yang baik, karena mustahil menghasilkan pemimpin sekaliber Umar bin Khattab dalam sistem yang sekuler.

Politics at Nowadays

Berbicara mengenai perselisihan, ini bukan hanya terjadi di zaman Islam, tetapi di sepanjang sejarah. Berarti problemnya bukan terjadi karena agama tetapi manusia. Manusia-lah yang menciptakan perselisihan. Sebab dalam tradisi Kristen pun juga terjadi perselisihan, Katolik dan Protestan pernah berperang di Thirty War, mereka juga pernah berperang dengan kaum Kataris yang mereka tuduh sesat. Maka, saat ada pertempuran seagama dalam Islam, mereka memerangi sekte yang sesat seperti Khawarij dan Syiah. Tentu dalam kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, karena ijtihad pemimpinnya jauh dari hawa nafsu, hal ini bisa diselesaikan dengan jalan yang ma’ruf, bukan peperangan.

Perselisihan merupakan tantangan umat Islam. Jangankan tempo dulu, sekarang pun masih berselisih. Hal ini sudah dikabarkan jauh-jauh hari oleh Nabi kita, dalam sabdanya beliau meminta 3 doa untuk umat terkasihnya, namun hanya dua yang terkabul dan satu yang tidak terkabul, dan doa yang tidak terkabul adalah tentang perselisihan di antara muslimin. Hal ini menjadi ujian bagi umat muslim, agar selalu bersikap kritis dalam memerangi bid’ah dan kedzaliman. Banyaknya sabda Nabi untuk bersatu dan saling mencintai sesama muslim harusnya menjadi motif perselisihan bisa diredam. Itulah yang menjadi tugas para ulama dari dulu hingga sekarang, yakni membimbing umat agar bisa meredam perselisihan.

Perselisihan diantara muslim justru semakin runcing pada masa modern ini, karena pemerintah sekuler, mereka menganggap perselisihan ini hanya bagian keagamaan saja dan tidak perlu untuk ditangani dengan kebijakan negara secara langsung, padahal hal ini bisa mudah terselesaikan jika ada tindakan resmi dari pemimpin negara.

Hmmmm .....


Next to read, Part III (The Last)

Comments

Popular posts from this blog

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar part III (akhir)