Pemerintahan Otoriter itu Bernama Islam, Benarkah ? 2nd Edition

Der Medicus "The Physician"

Menyambung lagi mengenai perpecahan. Sejatinya, perpecahan dan ribut-ribut antar kelompok adalah ujian untuk segala manusia. Terlebih bagi Islam, saat ia menaklukan banyak wilayah berikut dengan manusia-manusia dan pemikiran khasnya yg berbeda tiap agama, etnis, suku, dan budaya, lalu berikut pula kekayaaan dan sumber daya alamnya yg khas, di sanalah tantangan perpecahan mulai menanti. Pun, cakupan kekuasaan di Sistem Islam itu luas, menaungi banyak etnis dan agama, menaungi banyak pemikiran, hampir sepertiga dunia, jadi wajar jikalau seringnya pemberontakan ditanggapi Khalifah dengan militer. Meski yang paling bagus adalah jalur diplomasi, yang pernah dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz, tetapi dalam konteks strategi dan stabilitas negara, menggunakan militer juga bukan hal yang salah, terlebih buku panduan militer Pemerintahan Islam bersumber dari fiqh yang membuat aktivitas perang pasukan Muslim tidak sebarbar pasukan Israel.

Hal ini juga yang menyebabkan banyak lahir dinasti kecil di era Abbasiyah seperti Fatimiyah, Ghaznawiyah, dll. Saat negosiasi tidak berjalan mulus karena ego kekuasaan, dan operasi militer tidak cukup uang, maka ijtihad yang tersisa agar tidak menimbulkan korban jiwa adalah memberikan kekuasaan otonom kepada dinasti-dinasti atau keluarga-keluarga untuk mengatur wilayah. Sehingga, meyakini bahwa sistem Islam selalu menimbulkan perpecahan adalah keyakinan yang berlebihan, sebab dalam sebuah negara dan pemerintahan mana pun sudah pasti ada perpecahan. Agar lebih mapan, tentu yang kita bicarakan bukan perpecahan vs non perpecahan saja kannn, melainkan sistem apa yang terbaik, yang cakap merespon perpecahan dengan tanggapan manusiawi.

Berbicara pemberontakan dan perpecahan, jangankan pemerintahan Islam, Indonesia saja yang wilayahnya tak seberapa, banyang-banyang gerakan perpecahan dan separatis pasti ada, KKB contohnya, gerakan separatis yang harus Indonesia lawan. Bukan karena Indonesia kejam, tetapi para KKBers itu membuat onar dengan menyerang sekolah lah, pemukiman warga lah. Lantas, apakah salah dan bejat, atau terkesan menyukai perpecahan jika kita mengirim militer ke Papua sana ?. Justru, yang hobi merawat perpecahan adalah negara-negara modern yang kapitalistik, menganggap perpecahan dan perang adalah ladang cuan.

Dalam negara demokrasi juga ditemukan hal yang sama, orang-orang yang membuat makar, melawan pemerintah, pasti akan diperangi dan dipenjara. Tan Malaka dan M. Natsir contohnya. Namun cara yang ditawarkan sistem demokrasi atau sistem lainnya dalam men-treatment perpedaan pendapat berbeda dengan cara Islam. Dalam negara demokrasi, orang-orang bisa ditangkap gara-gara beda pemikiran/keyakinan. Pemikirannya berbeda dari rezim, ditangkap. Tidak setuju dengan RUU yang baru, ditangkap. Pameran lukisan mengkritik rezim, dibredel. Demokrasi malah lebih kejam, dan tidak memanusiakan manusia (yang fitrahnya beda pendapat). Demokrasi bahkan tega menghakimi pemikiran yang tidak sejalan. Sementara, dalam sistem Islam, tidak akan ada pemikiran yang dihakimi. Padahal, slogan “berani berbeda”, “free speech”, dll didagangkan dalam sistem demokrasi, tapi yang diterima malah tidak sesuai iklannya. Kemunafikan sistemik ini juga pernah dimuat dalam salah satu surat kabar kenamaan di Mamarika, atas responnya terhadap Obama yang meresmikan penghakiman lewat pemikiran, war on terror berganti menjadi war on radicalism. Tak ayal, surat kabar itupun melayangkan topik yang menarik, “should we sacrifice freedom for safety”, “freedom versus security”, “security versus liberty”. Seluruh akademisi dan warga Mamarika pun bingung, bingung dengan nilai apa yang sebenarnya mereka anut selama ini, bukannya mengarahkan manusia agar menjadi manusia, malah mengarahkan manusia dalam kebimbangan dan ketidakpastian nilai.

Sejatinya, apa yang ditemukan dalam buku-buku sejarah Islam oleh para pemuda muslim adalah tentang upaya stabilisasi negara dan upaya melindungi banyak nyawa. Islam bukan agama yang hobi mengumpan peperangan dan perpecahan, tetapi pabila api sudah menjalar, maka jangan salahkan jika gayung bersambut. Meski mungkin salah ijtihad dari para penguasa, tetapi begitulah, kesalahan adalah kesalahan, harus dimaklumi sebagai hal manusiawi dan respon wajar saat opsi baik tidak muncul. Tetapi, bagaimanapun kesalahan itu, tentu secara sistemik dan hukum, Islam tidak bisa memaklumi dan tetap menganggapnya sebagai sebuah kesalahan, kecacatan, dan pelanggaran yang tidak pantas, maka jangan heran, jika kritikan ulama tajam menyerang penguasa, kala itu. Hal ini membuktikan bahwa sistem Islam adalah sempurna dan bisa mendikte kesempurnaan itu kepada manusia, sehingga ada manusia yang mengikuti kesempurnaan Islam dalam memerintah. Namun, meski sistem Islam sempurna secara konsep, tetapi ia juga punya kemungkinan terisi oleh orang-orang yang cacat, kemudian mengabaikan konsep, sehingga yang dihasilkan adalah semi-sejahtera. Maka, dalam sistem Islam, siapapun yang berpegang pada konsep, ia akan selamat, sebab Islam sempurna dan manusiawi sudah dari konsep. Berbeda dengan demokrasi, yang memiliki cacat lahir yang sifatnya konseptis, sehingga satu atau beberapa orang baik yang terjun dalam legislatif (demokrasi) tetap tak cukup membuat perubahan, tak bisa mengubah apa-apa, seperti Program Makan Siang Gratis yang dicanangkan untuk mencegah stunting, bukannya membawa perubahan malah berbalik menjadi masalah.


References : 

Obama Speeches in The New York Times : https://www.nytimes.com/2014/06/01/world/americas/in-obamas-speeches-a-shifting-tone-on-terror.html

Newsweek "Freedom Vs Security" : https://www.nytimes.com/2014/06/01/world/americas/in-obamas-speeches-a-shifting-tone-on-terror.html

Ibnu Sina Movie : The Physician (2013)


Comments

Popular posts from this blog

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar part II

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar part III (akhir)