Pemerintahan Otoriter itu Bernama Islam, Benarkah ?

 

gambar hanya pemanis saja wkwkw ......

Saat ekonomi global mulai lesu akibat kapitalisme akutnya, sayup terdengar dari kejauhan beberapa orang yang mengagungkan ekonomi Islam. Memberikan gambaran paling sejahtera dari seluruh sistem peradaban manusia di muka bumi (yang pernah terealisasi), sistem Islam digadang akan menguasai dunia kembali, mengalahkan kapitalisme yang sudah tidak dikasihani lagi oleh setengah penduduk bumi, dan ia akan bersaing dengan sistem ekonomi sosialis ala Cina yang mulai tenar lagi. Kalimat itu didapat dari celetukan buku-buku Inggris yang pernah dibaca penulis, Clash of Civilizations menempati pikiran ini tentang prediksinya yang tajam bahwa penduduk bumi tidak lagi dibedakan karena ideologi, ekonomi, dan politik, tetapi akan dibedakan melalui kultur dan agama, ada kultur Hindu dengan diaspora Indianya yang ada dimana-mana, ada Islam dan banyak lagi.

Bahkan dalam celetukan buku Inggris itu, penulis menangkap pesan tersembunyi dari Huntington agar berhati-hati dengan pemuda muslim yang bangga dengan kultur Islamnya, yang mana sistem politik Islam jadi salah satu unsurnya. Hmmmm… Batin penulis membisik, jangan takut dan jangan risau Huntington, sebab pemuda muslim hari ini lebih bangga dengan demokrasi ketimbang sistem pemerintahan Islam. Mereka akan membela demokrasi mati-matian meskipun mereka juga merasakan kerugian, bahkan dalam waktu bersamaan, mereka akan tetap setia pada demokrasi dan terus nyinyir dengan sistem politik Islam sekalipun mereka tahu kebenaran dan mengakui keunggulannya di masa lampau. Maka, tulisan ini pun akan menepis beberapa keraguan dan ketakutan dalam benak pemuda muslim seputar pemerintahan Islam. Penulis hanya berbaik sangka bahwa mereka belum mengetahui saja, jika sudah mengetahui bagaimana sistem Islam itu, mereka pasti akan bermurah hati dan tidak melempar tuduhan yang mengada-ada.

Hal yang penting diketahui, dan penulis akan selalu bawel mengingatkan adalah acuan dalam melihat Sistem Pemerintahan Islam haruslah benar dan tepat. Sebab acuan yang tidak tepat, secara otomatis akan memengaruhi pandangan pada tiap-tiap konsep yang menyeluruh. Maka, acuan yang benar dan tepat tentang sistem pemerintahan Islam adalah yang terjadi dan dilakukan oleh Nabi, para Sahabat dan Khulafaur Rasyidin, tidak boleh selainnya. Ada ketetapan sunnah Nabi di sana, dan tidak ditemukan perintah sunnah yang perlu diikuti oleh umat muslim pada selainnya. Sehingga tak usah repot-repot melihat Arab Saudi (sebab bukan sunnah Nabi tapi sunnah Wahabi), Taliban, atau ISIS. Mereka sama sekali tidak mencerminkan sistem Pemerintahan Islam, mereka hanya melestarikan nilai-nilai Islam saja.

Semenjak Turki Utsmani runtuh, tidak ada sama sekali yang menetapkan pemerintahan berbasis agama, semuanya sekuler atau semi sekuler. Bahkan sekaliber Taliban saja tidak, karena dalam sistem ekonominya masih menganut kapitalisme. Vatikan pun sama, meski kepemimpinannya oleh Paus, tetapi sistem ekonominya kapitalisme, dan sistem hukumnya bukan lagi mengadopsi hukum Alkitab seperti pancung, salib, dll. Taliban dan Vatikan hanya mengadopsi nilai-nilai agama saja, tidak bersama dengan sistem politik dan kebijakannya. Sehingga, betul celetukan Huntington, bahwa hari ini, tidak cukup melihat rezim hanya dari ideologinya saja, sebab semuanya nampak hybrid, banyak yang tercampur. Rezim Ba’ath di Libya era Muammar Gadafi juga sudah campur-campur, Gadafi bereksperimen mencampur Islam dan Sosialisme di era pemerintahannya. Musnahlah Gadafi tersebab eksperimennya. Gadafi yang malang telah habis sama seperti ide campur-campurnya yang utopis. Yaa iyalah, mana mungkin Islam dan Sosialis bisa dicampur. Keduanya beda dari dasar, Sosialis lahir karena iklim sekuler (pemisahan agama dan negara), Islam lahir karena kecintaannya pada yang Maha Kuasa, sangat sangat beda kan. Jadi aneh jika ada yang menyebut ideologi Sosialisme Islam, secara kajian intelektual saja beda, apalagi secara fakta, yaa jelas jauh. Kalau tidak percaya, cobalah sebutkan negara apa saja yang menganut ideologi Sosialisme Islam, yaaa tentu melompong.

Masih banyak yang mengira sistem pemerintahan Islam langganan diliputi perpecahan kelompok. Hmmm…. Sekali lagi, perpecahan itu sifatnya manusiawi, artinya selama ada manusia pasti ada kemungkinan perpecahan terjadi, tidak peduli manusia itu modelnya agamawan atau maksiatwan, saudara atau bukan saudara. Kadang yang lahir satu rahim pun masih bisa bertengkar. Perpecahan itu karena ego manusia, dan perpecahan pasti adaa, wahai saudaraa. Di era modern, perpecahan antar kelompok bisa meruncing juga, bentrokan pendukung Trump dan Biden pernah terjadi di gedung kongres Capitol, kabarnya sampai ada korban yang tewas. Bentrokan di Irlandia antara penganut Katolik dan Protestan juga masih ada, kabarnya juga ada korban tak berdosa yang ikut meregang nyawa.

Jadi, neraca pikirnya bukan terletak pada perpecahan vs non-perpecahan, tetapi pada sistem atau aturan yang seperti apa yang bisa mencegah dan menanggulangi perpecahan ini, kebijakan apa yang mendukung perdamaian dan yang bagaimana sih sistem cinta damai itu, apakah dapat terealisasi dalam sistem Islam atau sistem Demokrasi ?,  mana yang lebih baik men-treatment salah satu hukum alam bernama perpecahan ini, seharusnya di sana letak pikirnya. Jangan terlalu nurut film, banyak yang belum sadar tentang dampak disrupsi film terhadap ketajaman analisis. Dalam film, gambaran ideal tentang kehidupan di dunia bak level surgawi, tidak ada perang, tidak ada kedengkian, tidak ada laki-laki mata keranjang, dll. Model-model ini jika diterapkan dalam skala duniawi pasti akan ditertawakan, dan orang-orang akan bilang ini sebagai khayalan. Yaaa memang betul, sebab ukuran surgawi tidak boleh dipakai untuk skala duniawi. Ukuran sepatu anak SMA tidak boleh dipakai untuk anak SD, begitulah analogy hematnya. Marilah sependapat dengan penulis, bahwa minimal ideal skala duniawi adalah manusiawi, memperlakukan manusia seperti manusia.

Sistem Islam bukan sistem surgawi, karena tidak dipakai di surga untuk para malaikat dan memang tidak di desain untuk itu sih wkwk, melainkan diciptakan dan diturunkan oleh yang Maha Kuasa untuk para manusia di dunia, yang diketahui penuh salah dan dosa, maka Yang Kuasa mengajak manusia untuk menjadi manusia lewat hukum-Nya. Jika manusia baik maka tidak menjadi kesombongan, jika ia salah, bertaubat dan akuilah kesalahan, sebab dalam diri manusia Yang Kuasa ciptakan rasa penyesalan, sebagai petunjuk bahwa manusia harusnya bertaubat jika melakukan kesalahan bukan malah menjadi seperti malaikat atau mengaku tak punya dosa (kayak doktrin Syiah). Jadi, jangan berharap dalam sistem pemerintahan Islam semua orang akan langsung berubah seperti penduduk surga. Mohon maaf jika penulis harus mematahkan gambaran ideal yang acap kali dibahas oleh orang-orang kurang baca yang menggemborkan sistem pemerintahan Islam dengan gambaran utopis yang tak manusiawi. Tetapi, harus diakui satu hal mengenai sistem Islam, meski tidak menjamin manusia menjadi seperti malaikat, sistem Islam mampu menjamin manusia menjadi manusia seutuhnya. Sistem Islam adalah satu-satunya yang berhasil memanusiakan manusia dibandingkan sistem lain yang pernah digunakan oleh peradaban dunia.

Lewat contoh ini akan dijelaskan bagaimana secara sistemik dan secara kebijakan, sistem Islam adalah yang paling mencintai perdamaiaan dan toleran pada perbedaan, sehingga orang-orang yang dididik dalam sistem pemerintahan Islam hanya akan memilih menjadi baik atau lebih baik. Contoh ini datang dari kisah Ibnu Sina, dalam kitab maha karya Ibnu Qayyim Al Jauziah berukir Ighatsatul Lahfan, dikatakan bahwa Ibnu Sina dan ayahnya mengikuti keyakinan al Hakim (penganut Batiniah, sekte Qaramithah). Para ulama ahli hadits, bahkan Al Ghazali dengan sebutannya sendiri mengatakan Ibnu Sina sebagai zindiq, beberapa mengatakan sesat dan kafir. Hal itu dikarenakan Ibnu Sina tidak memercayai hari Kiamat, Malaikat, tidak meyakini Allah menciptakan langit dan bumi selama 6 hari, Allah tidak mengetahui sesuatu apapun, Allah tidak berbuat sesuatu dengan Kuasa maupun Iktiar-Nya, dan Allah tidak akan membangkitkan manusia dari kuburnya. Atas semua keyakinannya itu, apakah Ibnu Sina dipenjara oleh Khalifah karena ia berbeda pandangan dan meyakini yang bukan menjadi keyakinan mayoritas, ataukah Ibnu Sina diperangi oleh Khalifah karena menimbulkan perpecahan kelompok ?. Tentu tidak, yang dipenjara justru ulama shalih kita, Ahmad bin Hambal, Imam Syafi’I, Abu Hanifah, dan Maliki.

Dalam sistem Islam, jika ada yang memilih ateis, tidak membunuh, tidak merampok, tentu tidak akan di salib oleh Khalifah, lain kisah jika memilih ateis kemudian membunuh, membuat onar di masyarakat dan melawan pemerintah. Selama berbeda pandangan di ranah intelektual (pemikiran/keyakinan), tidak akan diperangi. Tetapi akan diperangi jika pemikiran dan keyakinan berbeda, lalu membuat onar atau makar. Misal, syiah atau khawarij, pandangan mereka berbeda, plus selalu mengajak masyarakat untuk memberontak, menyebarkan propaganda buruk agar relasi rakyat dan khalifah tidak harmonis hanya karena pemimpin mereka bukan dari keturunan Ali atau pemimpin yang menjadi khalifah bukan orang pilihan mereka. Maka, jika meletus pemberontakan dan perpecahan, yang muncul dari sisi khalifah adalah upaya stabilitas demi meminimalisir korban jiwa,  bukan nafsu membunuh orang-orang yang berbeda pandangan, dan syaratnya pun jika sudah masuk tahap terror sehingga layak untuk diperangi.

Sebelum Khalifah Ali membakar para khawarij yang memberontak di Nahawand, Khalifah mendapat kabar terlebih dahulu bahwa kaum khawarij membuat makar dengan menyerang perkampungan yang dilewatinya sebelum sampai di Nahawand. Atas dasar inilah, Khalifah Ali membakar hidup-hidup mereka, meski beberapa cibiran datang untuknya. Tentu bagi orang yang tidak menempatkan dirinya di posisi kepala negara, akan menganggap ini sadis dan kejam, tetapi bagi seorang negarawan, jika ia mendengar ini, sikap inilah yang sangat heroic dan jantan. Maka, bukan karena kurang pintar kita menjadi mudah terprovokasi dan terpecah, tetapi karena kurang melihat dari kacamata orang lain saja, kurang apple to apple dan kurang menempatkan posisi yang benar dalam melihat sebuah peristiwa. Semua hanya tentang POV, ternyataaa.


Ini bagian ke 2nya, jangan lupa di baca juga yaaa Pemerintahan Otoriter itu Bernama Islam, Benarkah ? 2nd Edition



Comments

Popular posts from this blog

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar part II

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar part III (akhir)