Benarkah Hukum Islam terlalu Abstrak ?

 

yawn Obama 

Dalam kajian hukum Islam, kita harus mengetahui sumber hukumnya terlebih dahulu, yakni Al-Qur’an dan Hadits, begitu pun beberapa turunannya seperti Ijma dan Qiyas. Karena sumber hukumnya adalah ayat-ayat Al-Qur’an, maka dalam hal ini muncul istilah khas kebahasaan, yakni qath’i (defined) dan zhanni (undefined). Qath’i berarti sesuatu yang jelas dan pasti, seperti perintah merajam pezina dan potong tangan bagi pencuri. Jika kita menengok pada ayat, tentu perintahnya jelas sekali, tanpa memerlukan tafsiran lain untuk membantu. Sementara yang zhanni berarti samar atau masih abstrak, artinya perintah ini masih membutuhkan keterangan yang lebih lanjut, seperti perintah mendera pemabuk dalam Al-Qur’an, tidak dijelaskan bagaimana cara mendera pemabuk, dengan apa, dan berapa banyak deraan yang harus diterima pemabuk, tentu hal ini akan membutuhkan catatan kaki dan keterangan lebih lanjut, dan keterangan itu harus berasal dari Hadits, tidak boleh selainnya.

Perlu diingat juga, bahwa Hadits itu perkataan dan perbuatan yang datang dari Nabi, para sahabat hanya mewarisi dan mengamalkannya kembali. Maka harus mempercayai keabsahan Hadits dalam hal ini, sebab beberapa orang menuduh bahwa Hadits bukan perkataan Nabi tetapi perkataan sahabat Nabi atau otoritas keagamaan tertentu yang tidak wajib diikuti karena penuh dengan sentimen para Sahabat Nabi, sentimen patriarki, atau tuduhan lain. Ini pernah dibahas oleh seorang orientalis yang populer dengan konsep common link. Tidak salah tetapi tidak benar juga, sebab memang benar Hadits adalah perkataan para sahabat Nabi, tetapi mereka tidak mengarangnya sendiri demi kepentingan pribadi, melainkan hanya mengikuti apa yang mereka lihat dan dengar dari sang Nabi. Hati-hati, jangan terkecoh dengan jebakan istilah dan definisi yang laris di era post modern ini, yang mengatakan Hadits bukan kata Nabi, ia adalah buatan para sahabat Nabi.

Sehingga jika ada orang yang bilang, “asas hukum Islam bersifat abstrak karena merupakan pikiran yang dirumuskan secara luas”. Maka kesimpulan tersebut sedikit perlu tambahan. Hukum Islam tidak seabstrak yang mereka kira, sebab dalam Al-Qur’an ada penetapan hukum yang tidak abstrak, contohnya, bagi pencuri haruslah potong tangan, tidak boleh diganti penjara, dimiskinkan, atau yang lainnya, sebab hal ini pasti dan tidak butuh tafsir lagi. Sementara dalam hukum Islam tidak semua bagian adalah asas hukum plek ketipklek dan saklek. Ada yang asas hukum sifatnya abstrak dan perlu dirumuskan mujtahid, seperti, seberapa panjang tangan yang harus di potong dalam kasus pencurian, itu di rumuskan oleh qadhi. Dalam perumusannya pun tidak asal dari pemikiran pribadi yang kadang subjektif, tetapi senantiasa ada acuannya, yakni Hadits yang mana Rasulullah pernah melakukannya. Pun jika tidak ada dalam Hadits, maka qadhi (hakim) yang shalih akan memilih hukuman yang paling manusiawi dan adil secara akal sehat. Maka penting bagi kita memilihkan qadhi yang mencintai Al-Qur’an, cerdas secara akal, dan meneladani belas kasih Nabi, agar hukuman yang diberi tidak sebarbar pengadilan Eropa Abad Pertengahan.

Dalam agama selain Islam, khususnya agama samawi, mereka juga punya konsep hukum yang saklek, misalnya berzinah, membunuh, dan mencuri. Hukum yang saklek itu ada untuk menyelesaikan dosa-dosa yang pasti diulangi oleh manusia meski dalam lintasan zaman yang berbeda. Pelacuran sudah ada sejak dulu, dan akan terus ada selagi kebutuhan ranjang masih diminati manusia. Hanya saja, setiap zaman menawarkan cara melacur yang berbeda, jika era Romawi pelacur dibedakan warna rambutnya, di abad 21 melacur sudah bisa pesan-antar, bahkan hanya dengan di rumah saja sudah bisa menikmati layanan. Ini berarti bahwa aktivitas pelacuran seperti ini tidak akan berubah, namun alat dan media saja yang berubah sesuai kondisi zaman. Hal ini membuat kita secara tidak sadar membutuhkan juga sumber hukum pelaksana yang sifatnya tidak boleh saklek. Agar dosa-dosa bisa ditangani menyesuaikan zaman, manusia yang dirugikan mendapat keadilan, dan akal manusia menjadi berfungsi karena harus berijtihad merumuskan hukuman. Bayangkan jika semua asas hukum Islam bentuknya plek ketiplek dan saklek, tentu menyeramkan bukan, jika tak sengaja mengintip perempuan mandi misalnya, kepala langsung hilang, kehidupan manusia akan lebih mirip robot, dan hal ini pasti mustahil karena bertentangan dengan tujuan diciptakannya akal manusia sebagai pengurai masalah oleh Sang Pencipta.

Islam menyajikan sistem hukum yang keren dan manusiawi, jika berhubungan dengan perilaku manusia, maka kita akan mengadopsi hukum yang tetap (saklek), yang kebanyakan ada dalam Al-Qur’an. Jika menyangkut asas hukum pelaksana, akan diserahkan kepada Hadits dan tafsir otoritas keagamaan, supaya tetap update setiap zaman. Inilah kombinasi yang pas, manusiawi dan penuh keadilan sesuai dengan kaidah historic recurrence, kaidah umum yang menyatakan bahwa sejarah akan mengulangi dirinya sendiri, sebab aktivitas dan kebutuhan manusia tidak berubah, namun alat dan media manusia dalam beraktivitas dan memenuhi kebutuhan akan mungkin silih berganti, sehingga perlulah bagi kita sumber hukum yang mengatur perkara saklek dan yang abstrak, yang butuh penafsiran sesuai zamannya.

Selain hukum yang saklek, dunia kristen sebenarnya juga mengenal hukum yang sifatnya abstrak, mayoritas untuk kejahatan yang tidak disebut dalam Alkitab. Kebanyakan hukum abstrak ini akan ditafsirkan dan menjadi kewenangan raja, sementara gereja hanya mengamini saja sebab raja adalah wakil Tuhan, otoritas negara menjadi penafsir hukum pada abad pertengahan. Karena tidak dibimbing oleh wahyu dan hanya dibimbing oleh akal manusia, yang bisa saja menghasilkan produk hukum subjektif nan bias, walhasil hukuman abad pertengahan menjadi sangat brutal dan menyeramkan bagi rakyat Eropa. Hal ini bisa dibaca lebih lanjut pada artikel berjudul “7 Obscure Medieval Laws : These are the laws we're glad aren't enforced today By William Eves” yang tayang di laman English Heritage. Karena tidak dibimbing oleh wahyu yang lengkap dalam membahas perkara-perkara teknis, gereja tidak memiliki bentuk pengadilan yang baku dan saklek, sehingga urusan demikian diserahkan pada negara atau pihak pendeta untuk dirumuskan sendiri. Lalu, mereka membuat -dengan kreativitas pendeta dan raja- sistem pengadilan yang lazim digunakan pada abad pertengahan. Trial by Ordeal menjadi asesmen dalam pengadilan abad pertengahan untuk membuktikan seorang bersalah atau tidak diserahkan langsung kepada Tuhan dengan cara menenggelamkan terdakwa ke dalam air dingin atau membakarnya hidup-hidup. Jika mereka selamat, maka mereka terbukti tidak bersalah. Kaidah yang mereka yakini dalam asesmen ini adalah orang yang senantiasa benar akan mendapat mukjizat dan pertolongan Tuhan.

Tentu hal ini berbeda dengan model pengadilan Islam yang sudah rapih, dimana sudah tersedia konsep baku dan juga tersedia konsep yang perlu dipelajari, ditelaah, dan ditafsir. Masalah kesaksian, barang bukti, pengakuan, semua sudah komplit tersedia dalam Islam, sehingga, secara sistemik bisa menghasilkan keadilan bagi umat manusia dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Maka, yang harus ditakuti bukan masalah hukum abstraknya atau tafsirnya, tetapi siapa yang menafsir hukumnya. Kalau orang yang menafsir tidak kredibel dan menafsir sesuka hati, ini akan menjadi bencana besar. Lain kisah jika yang menafsir hukum adalah orang yang shalih, tidak haus jabatan, zuhud, yang senantiasa mendasari tafsirannya pada Hadits kredibel, tentu akan menjadi rahmat. Hikmah diturunkannya Nabi dan diwajibkannya mengambil hukum dari As-Sunnah adalah selain mendapat perintah dari Tuhan, manusia bisa mendapat penjelasan perintah-Nya secara 3D dan real life. Karena yang memberi contoh adalah manusia yang sengaja diutus oleh Tuhan, maka apa pun yang dilakukan oleh Nabi pasti bisa ditiru oleh umat manusia, dan bayangkan jika perkataan Nabi menjadi acuan hukum pelaksana, betapa akan sangat memanusiakan manusia bukan.

Pada hakikatnya sebuah hadits adalah interpreter original Nabi yang diwariskan oleh para sahabat untuk generasi muslim berikutnya. Dalam Islam jika hendak menarik sebuah hukum, apalagi yang tidak tertulis dalam Al-Qur’an, jangan sampai tidak hafal hadits. Jika hafalan haditsnya belum sebanyak Imam Bukhari dan Imam Syafi’I, jangan coba-coba menafsir hukum, ini kaidahnya, dan kaidah ini masih dirawat oleh kaum muslimin lewat syarat-syarat menjadi mujtahid yang sangat tidak mudah.


Jangan anti-Hadits, sebab para pendahulu sebelum kita tidak dianugerahi demikian. Sehingga mereka cenderung mengandalkan Rahib dan Pendeta mereka yang tidak dibimbing oleh Tuhan dalam merumuskan penyelesaian, maka Kitab terdahulu menjadi terdistorsi maknanya. Meski Hadits adalah perkara yang tidak Allah jamin sebagaiman Al-Qur'an, ini tentu menjadi ikhtiar bagi umat Muslim dalam menyeleksi dan menjaga keasliannya, maka para Ulama sejak dulu melakukan kajian keilmuan dan menyusun metode ilmiah untuk mempelajarinya. Tidak ingkar Hadits membuat kita mudah mencontoh Rasul-Nya. 

References 

Obscure Medieval Laws : https://www.english-heritage.org.uk/visit/inspire-me/obscure-medieval-laws/

Comments

Popular posts from this blog

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar part II

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar part III (akhir)