Minyak Goreng Mahal dan Langka, Milik Pemerintah atau Mafia ?


Harga minyak goreng di pasaran melambung sejak akhir Januari dan semakin melangit di awal Maret 2022. Parahnya, bukan hanya naik harga namun juga sulit tersedia. Padahal, Indonesia yang digadang sebagai “Raja Sawit Dunia”, dengan total pangsa pasar sebesar 55 % lebih unggul jika dibandingkan Malaysia yang tertinggal di angka 28 % di tahun 2020. Tak hanya itu, total ekspor sawit Indonesia menyentuh angka fantastis mencapai US$17,36 miliar dengan sumbangan sebesar US$32,48 miliar untuk nilai ekspor sawit internasional. Mengutip dari sawitindonesia.com, lewat limpahan sawit tersebut Indonesia optimis menargetkan diri sebagai penentu harga (price setter) kelapa sawit dunia 2045 mendatang.


Sedangkan menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), sepanjang tahun 2021 volume ekspor tumbuh 0,6 % dengan capaian nilai ekspor sawit 52% lebih tinggi dari tahun sebelumnya sebesar US$ 35 miliar atau setara Rp. 503,4 triliun. Akhir 2020 lalu, Kementerian Pertanian mencatat sudah ada 755 sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang terbit untuk kebun-kebun kelapa sawit di Tanah Air. Namun, mengapa sekarang Raja Sawit seolah menggigit, kelangkaan dan lonjakan minyak yang menukik membuat rakyat sesak sebab tercekik ?


Jika menelisik, bagian hulu yang membuat harga bahan baku minyak yakni crude palm oil (CPO) meningkat tajam di sektor global. Sementara produksi sawit cenderung stagnan. Faktornya bisa karena cuaca atau pemupukan yang kurang mapan. Ditambah permintaan semakin membludak dan konsumsi pangan dalam negeri yang ikut terbahak. Imbasnya terjadi kenaikan dan kelangkaan, tapi tidak melulu kenaikan global yang acap kali disalahkan. Pemerintah juga ikut ambil bagian. Pemerintah dalam kasus minyak yang mahal dan langka ini, sejatinya wajib untuk menjamin dan mengendalikan ketersediaan pasokan, keterjangkauan, dan jaminan mutu sesuai UU Pangan. 


Keadaan ini diperparah akan konsistensi pemerintah dalam program mandatori biodieselnya. Pemerintah serius menerapkan mandatori biodiesel dengan program B20 untuk 20% kandungan CPO dalam biosolar. Lewat program B30 terjadinya peningkatan porsi CPO untuk konsumsi biodiesel, hal ini diperkirakan akan terus merangkak naik. Andaikata didudukkan perkara, dipastikan pemerintah yang berulah. Adanya kebijakan mandatori biodiesel ini dalam beberapa tahun ke depan, boleh jadi pasokan CPO untuk biodiesel mengalahkan pasokan untuk kebutuhan pangan. Program ini semakin mamangkas alokasi CPO yang seharusnya melimpah untuk industri pangan justru lebih menggunung pada industri energi. 


Sudah tentu, para pengusaha sawit sekaligus pemilik CPO akan lebih tergoda menyalurkan barang dagangannya ke industri biodiesel. Industri energi macam biodiesel ini dijamin tidak akan merugi sebab dibopong pemerintah lewat kucuran subsidi, meski harganya minim dari tren global. Sementara jika CPO disalurkan ke industri pangan, tidak ada subsidi bahkan insentif yang bakal diterima pengusaha dari pemerintah. Walhasil, puluhan triliun pasokan CPO mengarus lebih deras untuk industri energi dibanding industri pangan sendiri. 


Keteledoran Para Pemangku Kepentingan


Bukan hanya itu saja potret lalainya pemerintah dalam mengurus rakyat. Kelangkaan dan lonjakan harga minyak goreng yang terjadi semakin menguatkan dugaan gangguan pada lantai distribusi dan pasokan. Ekosistem rantai pasok belum efektif untuk memperkuat fungsi distribusi dan revitalisasi jalur komoditas penting. Akibat jeleknya distribusi, banyak komoditas pokok yang menampilkan disparitas harga yang terlampau besar. Bisa saja terjadi perbedaan harga minyak goreng di wilayah tertentu yang dijual jauh dari HET akibat mahalnya biaya logistik yang harus dialirkan. 


Dalam kasus minyak goreng, meski pemerintah sudah menetapkan aturan HET sebagai langkah preventif untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan. Tetap saja, masih ditemui di lapangan masyarakat yang menjual melebihi harga yang dianjurkan. Sejatinya, jika distribusi dan logistik diperbaiki dan terintegrasi, tentu tidak ada disparitas harga pangan bisa ditemui. Seharusnya, ada pelembagaan pangan untuk mengawasi distribusi dan logistik bahkan sampai tingkat daerah sekalipun. Bulog tidak dijadikan hanya untuk komoditi beras saja, namun untuk bermacam bahan makanan pokok. Tidak hanya untuk menjamin pendistribusian yang merata namun untuk menjamin pasokan pangan yang tersedia. 


Kemudian, menyoal mahalnya harga minyak meski sudah tersedia banyak. Entah disadari atau tidak, drama kenaikan bahan pokok selalu terjadi menjelang hari-hari besar umat Islam baik itu Ramadhan ataupun Idul Fitri. Bisa dipungkiri ada aktor yang bermain dalam sandiwara ini. Siapa lagi jika bukan pengusaha yang terbiasa jadi mafia kala kesempatan meraup untung mulai terbuka. Bayangkan, Melansir dari tempo.co, hingga akhir 2020, Kementerian Pertanian sudah mengantongi sebanyak 755 sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), adapun 735 di antaranya merupakan sertifikat untuk perusahaan swasta dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Bagaimana bisa tidak dimonopoli, kebutuhan pangan kita tidak dikelola sendiri justru kebanyakan dikelola oleh swasta. Bagaimana pemerintah bisa memastikan pasokan jika kekayaan sawit hanya dimiliki sebagian. 


Para pengusaha dan mafia bisa saja dengan sengaja menimbun berkartel minyak, demi pundi-pundi saat permintaan meningkat. Terlebih mereka cerdas menganalisis situasi pasar, dimana konsumen terbesarnya adalah umat Islam. Dengan menimbun menjelang hari-hari besar umat Islam, mereka mudah membawa pulang keuntungan. Penemuan minyak goreng berton-ton bersamaan saat minyak dikabarkan punah dari peredaran, bukti konkret pihak yang mencuri kesempatan dalam kesempitan. 


Ketika minyak sudah berangsur pulih dari kepunahan, harga minyak di pasaran dilepas sesuai mekanisme pasar. Lagi-lagi persaingan tidak sehat khawatir bermunculan. Kendati dibolehkannya persaingan, namun pemerintah secara keseluruhan harus ikut mengendalikan. Pemerintah tidak benar-benar bertekad memugar regulasi apalagi memberi sanksi. Wajar saja jika pemerintah bilang pengusaha juga berhak untung, toh memang bukan pemerintah yang punya, tapi milik mafia. Saat pemerintah mencabut HET, rak-rak di toko perbelanjaan mulai penuh terisi minyak, namun harganya bikin terisak. Sebenarnya pada siapa pemerintah berpihak ? pada rakyat atau konglomerat ?. Seolah-olah urusan rakyat itu, peduli amat!.


Pemerintah punya banyak instrumen yang bisa digunakan untuk menangani kasus semacam ini,  apa lagi ini bukan kasus yang baru kemarin sore terjadi. Pemerintah tidak boleh memenangkan mafia. 



Comments

  1. Luaarrr biasa apa luar binasa yah🤔

    ReplyDelete
  2. Luarrr binasaaa, komentator ilegal mulai menanam bibitnya :D awokawok

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar part II

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar part III (akhir)