Perlukah Marah ?
Perlukah
marah bagi seorang muslim saat Al-Qur’an dibakar? Perlukah marah seorang muslim
saat Nabi dicaci? Perlukah marah seorang muslim saat Islam dihinakan? Perlukah
semua itu dilakukan disaat Tuhan sama sekali tak perlu dibela karena keagungan
yang melekat pada-Nya? Perlukah …
Apabila ditinjau
secara semantik, kalimat “Tuhan Tidak Perlu Dibela” adalah benar, tidak
kontradiktif dan multitafsir. Siapa pun pasti mengamini bahwa Tuhan adalah something
greatest. Hal ini bahkan sudah menjadi rukun dalam pemikiran manusia bila
sesuatu hendak disebut Tuhan maka harus out of human level tarafnya. Tidak
akan ada asumsi lain yang datang sehubung kalimat “Tuhan Tidak Perlu Dibela”,
kecuali telah sepakat bahwa Tuhan adalah Maha Besar.
Akan
tetapi, senantiasa miskonsepsi jika kalimat “Tuhan Tidak Perlu Dibela”
ditargetkan untuk aksi-aksi penistaan terhadap agama. Miskonsepsi ini tumbuh
seiring lazimnya manusia mengasosiasikan agama hanya dengan wahyu Tuhan atau
apapun yang sifatnya sakral, maka agama dikonsepsikan sama dengan Tuhan. Karena
agama = Tuhan, maka setiap pembelaan terhadap agama sewajarnya tegak lurus
dengan pembelaan terhadap Tuhan. Lantas dari miskonsepsi ini muncul pertanyaan
kebingungan, kok Tuhan dibela ??...
Sebetulnya
boleh saja jika hendak mengasosiasikan agama = Tuhan, tetapi jangan terlalu keseringan.
Bila keseringan akhirnya sulit membedakan mana konsepsi Tuhan dan mana konsepsi
agama. Antara konsepsi Tuhan dan agama terdapat beberapa perbedaan meskipun
tanpa menolak bahwa keduanya juga memiliki hubungan mesra.
Konsepsi
Tuhan akan akan menuntun pada sebuah pemahaman dan keyakinan bahwa Tuhan memang
Maha Kuasa, tak perlu dibela. Pun Tuhan dilekatkan oleh pemikiran manusia
dengan segala kesempurnaan dan dinafikan atas segala keterbatasan dan
kekurangan. Manusia manapun akan bersepakat dengan hal ini. Karena tiap-tiap
manusia mempercayai akan kekuatan yang besar yang melebihi dirinya. Ini konsep
Tuhan, sudah disepakati oleh akal pikiran.
Lalu,
konsepsi agama. Konsepsi agama akan mengacu kepada seperangkat sistem atau
kaidah-kaidah aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan berbagai
kegiatan ritualnya, hubungan dengan sesamanya, bahkan lebih jauh agama pun
menyajikan pandangan terhadap dunia yang menghubungkan manusia dengan sebuah
tatanan kehidupan. Sehingga akan sangat tidak tepat jika agama hanya sempit
diartikan sebagai wahyu Tuhan ataupun hubungan sacral dengan ritual yang
transcendental. Maka agama dalam arti luas tidak melulu bersinggungan dengan
Tuhan atau perkara transenden lainnya, tetapi akan erat juga kailnya dengan
unsur-unsur seperti ajaran atau aturan Tuhan, implementasi ajaran tersebut, dan
yang tak kalah penting jika berbicara agama kalau bukan para penganutnya.
Inilah letak perbedaannya. Sudah tak ingat bahwa agama bukan sekadar sama
dengan wahyu Tuhan, melainkan agama sama dengan wahyu Tuhan, ajaran, dan para
penganut. Akibat keseringan mengartikan agama secara sempit itulah yang
menyebabkan ketidaktepatan dalam menyebut pembelaan agama sebagai pembelaan Tuhan
yang Tidak Perlu Dibela, terlebih sangat sering diarahkan kepada Islam yang
dianggap paling rajin melakukan pembelaan.
Padahal,
Islam sendiri mengakomodir dua perbedaan tersebut, meski dalam hal beragama dua
hal ini diharuskan menyatu. Konsepsi Tuhan yang menerangkan perbuatan-Nya dan
segala tentang-Nya dinamakan Aqidah atau Tauhid yang kemudian akan berkaitan
dengan apa yang disebut hablumminallah, sementara konsepsi agama atau kaidah
aturan tertuang dalam Syariah yang berkaitan langsung dengan sebutan hablumminannas.
Namun jika
tak malas membaca fakta, sebenarnya penistaan yang pernah terjadi pun tidak
benar-benar menargetkan Tuhan sebagai bahan olok-olokan. Tetapi lebih mengarah
kepada simbol-simbol keagamaan tertentu, misalnya kitab suci, nabi, atau salah
satu ajarannya yang dianggap problematik. Penistaan yang terjadi justru
mayoritas bukan menistakan Tuhan, tetapi mengarah pada sebuah agama.
Mari ambil studi kasus yang nyata…
Contohnya,
penistaan yang terjadi kepada Islam. Maka nominasinya selalu jatuh pada
Al-Qur’an, Nabi Muhammad saw, atau beberapa ajaran Islam yang dianggap problematik
(poligami misalnya). Alhasil, penistaan kepada Islam pasti tidak akan jauh-jauh
dari ketiga objek tersebut. Sebaliknya, penistaan pada Islam sama sekali tidak
pernah tertanda atas nama Allah SWT secara langsung, selaku Tuhan yang diyakini
banyak muslim seantero bumi.
Penistaan
kepada Islam, baik diarahkan pada Al-Qur’an maupun sang Rasul tercinta, terlebih
tujuannya memanglah provokasi belaka. Menargetkan umat Islam yang khas dengan
kecintaan kepada agamanya, kitab sucinya, bahkan Rasulnya tentu tidak akan diam
saja jika agama beserta simbol-simbolnya dinista, yang demikian dilakukan dengan
sengaja agar terpancing amarahnya untuk bereaksi sebagaimana yang dikehendaki.
Ketika muslim tertangkap basah terpancing provokasi dengan melakukan sebuah
pembelaan misalnya dengan menyerbu akun sosmed pelaku, maka Islam langsung
diasosiasikan dengan mudah sebagai agama pemarah, IQ rendah, anarkis, teroris,
dan intoleran.
Padahal
tujuan pembelaan yang dilakukan umat Islam sejatinya bukan hanya semata karena
mereka yakin dan cinta terhadap agamanya, tetapi lebih dari itu umat Islam
menjadi kontrol terhadap moralitas dan kemanusiaan yang berlaku di masyarakat.
Pembelaan yang dilakukan adalah untuk menyampaikan pesan kepada dunia bahwa
penistaan terhadap sebuah agama sangat tidak bisa dibenarkan dengan alasan
apapun.
Pada
kenyataannya di dunia manusia ini, hanya Islam yang laris menjadi sasaran
penistaan. Bahkan kejadian yang persis sama sekalipun, ambil contoh saat kasus
pembakaran kitab suci umat Kristiani yang pernah terjadi di Israel. Begitu
banyak orang mengecamnya sebagai penistaan dan bentuk hate of speech. Lain
halnya jika Al-Qur’an yang dibakar, maka teriakan freedom of speech dan
kritik terhadap agama sangat menggema. Seolah hanya kitab suci milik Islam saja
yang boleh dibakar sebagai bentuk kritik dan kebebasan berbicara. Tidak pernah
ada kasus penistaan terhadap agama lain yang dalihnya serupa. Tentu tidak
pernah ditemukan dalam banyaknya kueri Google yang menampilkan gambar seseorang
sedang membakar Tripitaka sambil membawa spanduk freedom of speech di
belakangnya.
Kemungkinan terburuk yang diterima pemeluk Islam atas provokasi ini yang bila dibiarkan terus berlanjut, tak lain adalah semakin menukiknya gelombang Islamophobia. Bahkan dikabarkan oleh Reuters, gelombang ini berhasil menukik satu keluarga Muslim Kanada yang tewas ditabrak oleh orang tak dikenal dengan hanya mengandalkan motif kebencian. Akan banyak diskriminasi dan opresi yang diproyeksikan naik dan melibatkan banyak muslim dari hadiah Islamophobia yang berusaha tidak dilawan.
Man suspected of killing Canadian Muslim family was motivated by hate -police
Islam
adalah agama yang menyeru perbuatan-perbuatan baik dan menolak
perbuatan-perbuatan buruk, maka jika hadir standar ganda, diskriminasi, opresi terhadap
sesuatu hal ataupun mengarah kepada suatu kelompok masyarakat tertentu, Islam
tak segan pasang badan untuk membela. Secara kebetulan kelompok yang sering
diberi standar ganda, diskriminasi, dan opresi kebanyakan adalah umat Islam.
Sehingga, pembelaan terhadap Islam sangat penting dilakukan.
"Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". (Muhammad ayat 7)
Dengan ini sangat sekali tidak arif bagi seorang
muslim jika lebih memilih diam. Apalagi jika Tuhan Tidak Perlu Dibela menjadi
dalihnya. Maka seorang muslim harus cermat memindai fakta yang terjadi dan wajib membedakan perbuatan Tuhan dan mana
yang bukan. Jikalau bersedia membicarakan agama, dimohon untuk tidak mudah
melupakan salah satu kailnya -penganutnya-, sebab setiap agama tentulah
memiliki pemeluknya. Dengan demikian, pembelaan-pembelaan yang sebenarnya
dilakukan tidak lain adalah untuk menyelamatkan ajarannya beserta para
penganutnya dari kemungkinan-kemungkinan buruk akibat penistaan yang dilakukan.
Membela tidak hanya cinta semata, tetapi meraih
keadilan yang berhak diterima semua manusia, terlebih jika ada namanya
kebebasan beragama. Membela bukan karena cinta buta, tetapi hendak menyampaikan
pesan pada dunia tentang ketidaknormalan dan ketidakwajaran yang telah
berkubang lama dalam moralitas manusia. Membela bukan sebab Tuhan perlu dibela,
tetapi agama butuh dignity dan marwah yang perlu dijaga agar para penganutnya
senantiasa terjaga.
Comments
Post a Comment