![]() |
Sumber : TRT World |
Benarkah Cinta Nabi Harus Transenden ?
Kalau berbicara cinta, tak akan ada habisnya. Tetapi benarkah
bahwa cinta Nabi harus transenden, sehingga tak perlu ada upaya pembelaan jika
sang Nabi dihina ? …
Memang cinta itu transenden, sama seperti Tuhan. Dikatakan
transenden sebab perkara yang beraroma cinta pastilah perkara-perkara yang
melampaui apa yang terlihat oleh manusia. Meski tidak terlihat, cinta bisa
ditemukan keberadaannya dalam dunia nyata.
Rasa cinta itu unik, karena bagi yang mencintai persoalan
berbalas atau tidak bukanlah pokok utama, sebab mencintai bagai sebuah
keperluan dan kepuasan tersendiri. Sama halnya dengan cinta kepada Nabi. Mau
dibalas atau tidak cinta yang kita beri, jika sudah mencintai adalah bukan
sebuah kesukaran melainkan kenikmatan bagi yang mencintai.
Cinta itu hakikatnya tentang diri sendiri, cinta adalah
kepuasan diri. Meski cinta yang kita berikan adalah untuk orang lain. Maka
siapapun yang sedang mencintai, hakikatnya sedang memperkaya diri sendiri. Tengoklah,
bagaimana manusia-manusia yang menyayangi kucing misalnya, mereka tak merasa
butuh balasan cinta dari kucing tersebut. Yang mereka perlukan hanyalah rasa
mencintai mereka tersalurkan dengan baik, seperti mengharapkan kucing tersebut
tumbuh dengan baik.
Maka, menurut Rasul sengsara bagi mereka yang tak bisa
mencintai, “Siapa yang tak mencinta, tak layak dicinta”, sebab mencinta itu
hajat manusia, sedang dicinta itu bonusnya. Pengorbanan, pembelaan, pertolongan adalah
satu paket dalam perkara cinta. Maka
tidak peduli apakah yang dicinta lebih berkuasa atau tidak, tidak peduli apakah
yang dicintai harus lemah sampai tak mampu membela. Bukan, cinta itu bukan
tentang bagaimana objek cintanya, bukan tentang siapa yang dibela, bukan
tentang seberapa kuat atau lemah yang ditolong. Semua ini hanya tentang yang mencinta.
Membela Allah dan Rasul, bukan berarti mereka lebih lemah.
Tapi lagi-lagi, ini adalah soal cinta, yang bahkan buta dalam mengidentifikasi
siapa yang dicinta. Pun dalam menolong agama, bukan berarti agama ini tak
berdaya, tapi ini tentang rasa cinta pada agama, yang membuat kita tak bisa
diam, saat agama ini dituduh, difitnah, dan diperlakukan semena-mena.
Sama seperti ketika disampaikan tentang “Jika kamu meminjamkan
kepada Allah dengan pinjaman yang baik”, maka yang bukan golongan pencinta
sejati akan menuduh Allah itu miskin, sebab perlu pinjaman. Padahal yang
dimaksudkan adalah rasa cinta, bahwa mereka yang mencintai Allah dan Rasul,
siap mengorbankan apa pun. Maka, mencintai itu, senantiasa dikenali bersama
dengan indikasinya, yaitu pengorbanan, pembelaan, dan pertolongan.
Cinta tak akan pernah bisa dikenali kalau bukan lewat indikasi
yang dilakukan sang pejuang cinta. Misalnya, sampai kapan pun kita tak akan
pernah tahu seseorang pecinta otomotif jikalau bukan dari indikasinya yang
senang mengoleksi mobil. Begitupun jika kita menemukan seseorang yang
mengatakan dirinya mencintai warna merah namun mengoleksi warna ungu, maka akan
mustahil dipercayai.
Sama halnya dengan cinta kita kepada Nabi. Bagaimana bisa kita
menghindari indikasi dari mencintai seperti pengorbanan, pembelaan, dan pertolongan terhadap Nabi lalu dengan
enteng menyatakan bahwa kita cinta Nabi tapi transenden, jadi sulit kalau mau
dibuktikan dengan nyata. Lantas darimana bisa mengaku cinta kalau menolak
indikasinya, padahal mengenali seseorang yang sedang kasmaran sangat mudah dari
tingkah lakunya.
Oleh karena mencintai adalah memperkaya diri sendiri maka
indikasi yang tampak akan membawa pada definisi cinta yang sesungguhnya.
Comments
Post a Comment