Kaidah Berpikir


Mikir dong!


        Benarkah selama ini kita yang sering disuguhi jargon “mikir” (meniru Cak Lontong) saat berduet dengan persoalan sudah benar melakukannya? Atau selama ini yang dilakukan hanyalah iseng mengayuh lamunan dan memperlebar khayalan. Meski kita adalah golongan wajib belajar sembilan tahun tapi apakah memang selama ini kita berpikir, atau jangan-jangan kita sendiri sudah lupa belajar mikir sejak di bangku sekolah. Saking banyaknya cuitan netizen +62 yang dominan seperti sampah di social media, malah semakin yakin dengan populasi tetangga Wakanda yang bejibun ini jarang ada yang mau mikir, rajinnya nebak-nebak dan melamun saja.

        Ngomongin soal berpikir, seringnya kita malah takut duluan, takut bodohnya ketahuan kalo mikir… canda,hehe. Alasan orang takut mikir pun macem-macem, mulai dari gak mau repot-repot bikin otak ngebul sampe takut jadi tiba-tiba sesat. Sesat karena belajar ini lah, anu lah, ono lah. Ini yang kadang bikin Aristoteles mikir dua kali kalau mau reinkarnasi wujud orang Indonesia.

        Sayangnya, berpikir itu mudah. Cuma banyak yang masih belum tahu prosesnya bagaimana dan butuh bahan bakar apa aja biar otak segede kacang polong ini cepat menderum… brumm… Tentu, selain harus berderum kita juga harus tahu kapan berpikir punya waktu hibernasi. Nyatanya, mikir juga punya batasan-batasan yang selama ini malah dianggap gak ada.

        Berpikir itu mudah dan murah, hanya saja kita sering terperangkap pada fenomena berpikir yang mengikat kita pada asumsi-asumsi dan informasi yang seolah kaya esensi namun nyatanya miskin buat dikonsumsi. Misal, saat manusia ditanya tentang kehidupan, maka jawaban-jawaban out of the box bermunculan. Padahal, sebenarnya kehidupan itu gerbang menuju kematian. Sesederhana itu …

        Manusia baik soal dirinya maupun kepribadiannya akan sangat bergantung dengan informasi.Termasuk di dalamnya adalah pengetahuan. Pengetahuan menurut bahasa adalah informasi atau maklumat yang diketahui dan disadari oleh seseorang sehingga menimbulkan kepercayaan bahwa sesuatu itu benar (knowledge is justified true belief). Pengetahuan adalah informasi yang belum teruji sementara ilmu adalah pengetahuan yang sistematis dan sudah teruji serta dibatasi oleh kaidah-kaidah atau metode tertentu.

        Menurut Ming Hsy, Ph.D, peneliti dari University of California Barkeley, otak memandang informasi sebagai sebuah hadiah, meski belum tentu ada gunanya. Ini jadi bukti bahwa otak sama sekali tidak punya sakelar, sehingga apapun bisa masuk tanpa permisi meski tidak berguna akan tetap diterima oleh sang otak. Kalau otak punya sakelar, kita otomatis jadi gila karena berhenti berpikir. Mamang benar jika otak adalah organ manusia yang unlimited edition.

        Meski demikian, informasi bisa didapat dari banyak hal termasuk pengalaman yang merupakan informasi indrawi. Dalam mengolah informasi manusia memanfaatkan indra penerima seperti mata, hidung, telinga, mulut, dan kulit untuk menangkap isyarat atau tanda-tanda. Kemudian akan menghasilkan output berupa tanggapan atau respon baik dalam bentuk ucapan, tulisan, gerakan, dan lainnya. 

        Otak dan akal adalah entitas berbeda. Otak adalah hardwere, sementara akal adalah softwere. Otak adalah komponen fisiknya sementara akal adalah bagian dari otak yang tak berwujud, sebuah instrument yang dimiliki manusia untuk membedakan, mempertimbangkan dan menghukumi segala sesuatu apakah itu salah atau benar, apakah itu rugi atau untung, dan lain-lain. Oleh sebab itu, meski hewan punya otak ia tetap tidak mau pakai baju dan celana karena ia tidak punya akal untuk membedakan, menganalisa, mempertimbangkan, dan menghukumi segala sesuatu.

        Berpikir adalah upaya untuk menghukumi segala sesuatu. Dalam menghukumi segala sesuatu ternyata ada kaidahnya, tidak sembarangan apalagi asal sat set sat set.

        Pertama, harus ada informasi (mau fakta atau pengalaman) yang sudah atau sedang di indra oleh alat indra. Enam indra manusia digunakan untuk mendeteksi informasi dan menyerap tanda-tanda.

    Kedua, lalu informasi yang sudah diserap akan dilarikan ke dalam otak. Otak kemudian memprosesnya sebagai sebuah pengetahuan yang nantinya akan dihukumi (ditentukan) namanya apa.

    Tapi, sebelum otak memprosesnya untuk dihukumi atau ditentukan ini apa namanya. Berlangsung tahap ketiga terlebih dahulu, yakni mengasosiasikan apa yang diindera dengan informasi awal yang sudah tersimpan dalam otak. Dalam dunia psikologi ini disebut sebagai common sense. Merupakan pengetahuan awal atau penilaian tentang suatu objek dengan cara yang lazim dimiliki semua orang dan bersifat tetap tanpa ada perubahan. Singkatnya common sense atau akal sehat adalah penilaian yang masuk akal terhadap situasi atau objek tertentu, misal kalau ngantuk yah tidur, kalau laper yah makan, kalau mau pergi ke kutub ya otomatis bawa mantel, tidak menyentuh api karena panas. Saat kita menemukan hal tidak lazim seperti sengaja terjun ke tebing supaya tewas, sontak langsung berseru “udah gila lu yah”. Kita menganggapnya sebagai orang yang kehilangan akal sehat.

        Lantas, apakah informasi awal menjadi aspek penting dalam kaidah berpikir? Tentu saja, malah aspek satu-satunya yang menentukan keberhasilan sebuah aktivitas berpikir itu sendiri. Kasarnya, kita cuma bisa berpikir kalau ada informasi sebelumnya. Gak percaya ?

        Contoh, ketika disuguhkan kata Ariel, maka yang muncul pertama kali sudah pasti Ariel vokalis Noah. Padahal, nama Ariel itu banyak, ada Ariel Tatum ada Ariel si Duyung. Tapi, mengapa hampir 97% merujuk pada satu orang saja yakni Ariel Noah. Penyebabnya adalah karena Ariel Noah yang paling banyak kita rekam dalam otak sebagai informasi awal. Otak kita mengindra kata “Ariel” kemudian berusaha mencocokannya dengan informasi awal yang lebih dulu tersimpan, maka secara otomatis kita akan menghukumi kata Ariel sebagai Ariel Noah. Lain halnya jika kata Ariel disodorkan oleh orang yang sama sekali tidak pernah mendengar kata Ariel, maka mereka akan cenderung menjawab dengan menebak-nebak, “mungkin Ariel adalah merk kondom dari Spanyol”, “bisa jadi Ariel adalah asuransi mobil di Boston”.

        Saat tidak tersedia informasi awal, kita tidak bisa menghukumi sesuatu justru kita hanya akan menebak-nebak sesuai informasi yang pernah kita dapatkan. Kita tidak bisa berpikir kalau tidak ada referensi (informasi awal).

        Dengan demikian, berpikir ternyata dibatasi oleh informasi dan referensi yang sejatinya pernah kita terima. Itulah sebabnya, manusia sampai kapan pun tidak pernah mampu menebak masa depannya. Karena mereka tidak bisa sama sekali mengantongi informasi dan referensi masa depan yang pasti, yang bisa mereka indrai. Jangan kemudian heran, banyak kubu yang berusaha meramalkan masa depan lewat asumsi-asumsi yang sebetulnya hanya menebak-nebak saja. Mungkin masa depan menurut Amerika adalah saat manusia digantikan oleh teknologi, tapi tebakan ini tentu berbeda saat ditanyakan ke Rusia, mungkin (bahkan penulis pun menebak karena tidak punya referensi) masa depan menurut Rusia adalah bisa nikah dengan China… hehe

Jadi, gimana, udah bisa mikir kan sekarang?


Comments

Popular posts from this blog

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar part II

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar part III (akhir)