Manusia dan Agama, Seberapa Butuhnya Kita?
![]() |
Ngaji dulu ah, biar gantengnya nambah 0.1% https: za-bobro.livejournal.com |
Tidak ada yang melegakan melebihi segelas air bagi orang yang berpuasa, begitu pun jika sebuah pertanyaan diulas dengan jawaban yang mantap, akan sama melegakan dahaga. Pertanyaan tak terhindarkan seperti, “kenapa kita harus beragama?”, “apakah agama adalah kebutuhan bagi kita?”, atau “kenapa kita butuh agama?”, pastilah pernah tanpa permisi lewat di kepala. Sebab manusia adalah makhluk berakal. Konsekuensi akal sejatinya selalu mempertanyakan sesuatu, meminta dipuaskan dengan jawaban-jawaban yang rasional maupun empiris. Bahkan tak jarang akal ini meminta jawaban yang pasti kebenarannya, yang valid buktinya.
Secara alami, saat manusia mengaktifkan seluruh indranya, saat indra membaca sebuah fenomena, maka manusia akan bertanya. Pertanyaan itulah yang mengusik manusia untuk berpikir mencari jawabannya. Sekali lagi, ini konsekuensi akal yang selalu ingin dipuaskan, bertanya menjadi senjatanya, indikasi bahwa kita tertarik untuk mencari tahu sebabnya.
Otak bukanlah akal, tapi akal membutuhkan otak. Berapa banyak hewan yang memiliki otak tetapi tak mampu membangun sebuah tatanan kota, bahkan tak berdaya membuat sebuah teknologi untuk sekadar memudahkan kehidupannya. Lain halnya manusia yang memiliki otak dan akal, sangat sempurna. Lihatlah bagaimana megahnya Colosseum di Roma, Kuil Artemis di Turki, kokohnya tembok Hadrian di Inggris Utara, semua hasil daya cipta manusia. Maka syukurilah, anugerah hebat dari sang Kuasa.
Janganlah heran apabila manusia sejak dulu hingga kini pun masih sering bertanya, mulai dari mengapa dan bagaimana. Bukti akal tidak ada sakelarnya, manusia secara sporadis akan bertanya dan memikirkan banyak hal yang ditangkap oleh indra. Misalnya, saat indra pendengaran menangkap bunyi “Squidward”, otak langsung memberikan bayangan seekor cumi-cumi berwarna putih, berhidung besar dengan kepala botak yang memakai baju tanpa celana. Meski jika diawal sudah diultimatum untuk "jangan bayangkan Squidward”, bayangan cumi-cumi itu tetap tak terelakkan. Lalu bagaimana jika akal kita ternyata terhenti atau bisa diberhentikan ?, sudah pasti gila.
Akal adalah alat untuk berpikir, yang terdiri dari otak (tempat menyimpan memori). Sebuah alat yang berfungsi mempertimbangkan dan memutuskan suatu perkara. Singkatnya, akal adalah alat yang diperlukan seseorang untuk menghukumi sesuatu, entah itu benar atau salah, cantik atau tidak, untung atau rugi, marah atau sedih, dan Squidward atau Patrick. Semuanya diputuskan oleh akal lewat cara yang dinamakan berpikir.
![]() |
Perasaan disuruh bawain satu firman, eh malah jadi banyak... https: za-bobro.livejournal.com |
Manusia Selalu Bertanya Sejak Dulu Kala
Saat hendak membeli baju, jika tertarik, kita akan langsung bertanya kepada penjualnya. Bertanya menandakan bahwa kita tertarik terhadap sesuatu.
Ketika manusia melihat dengan indranya apa yang ada di sekelilingnya. Bahwa sesungguhnya yang mereka dapati dari alam semesta yang ditinggali ini selalu ada keteraturan di dalamnya. Beragam makhluk, hewan, dan tumbuhan. Ada siang dan malam berganti sesuai perhitungan, ada hujan dan panas, musim dingin dan musim panas, musim semi dan musim gugur, ada laki-laki dan wanita. Semua sangat teratur, kapan harus berganti matahari, kapan harus berganti bulan, mustahil jika ini sebuah kebetulan. Keteraturan yang nampak bahkan dalam satu inchi sel manusia, tanpa diperintah ia tahu kapan waktu membelah, ia tahu berapa banyak jumlahnya untuk dapat berhenti, ia tahu kapan dan dengan siapa beregenerasi, dan itu terjadi dalam keteraturan yang sangat detail, seakan ada seseorang (entah siapa) yang memerintahkannya, mengelola dan mengaturnya.
Saat manusia melihat lautan luas tapi tak pernah tumpah, langit yang menjulang tanpa tiang, gunung yang kokoh tanpa penopang. Dari sanalah muncul keyakinan bahwa ada sebuah kekuatan besar yang misterius, kekuatan yang sulit mereka jelaskan, yang melebihi kekuatan manusia. Mereka menyebutnya “Sesuatu yang Maha Besar”, lebih dari manusia dan pasti tidak sama dengan manusia.
Ketika manusia merasakan hal tak terduga yang menimpanya tanpa ia bisa berkuasa menolaknya, seperti bencana alam, hari tua bahkan kematian. Akan tertuju pandangan manusia pada “kekuatan besar yang misterius itu”. Begitu pun saat manusia mulai melihat bahwa di dunia ini ada kejahatan, pencurian, perselisihan, permusuhan, dan perang. Maka manusia mulai memikirkan caranya untuk bisa selamat baik dari bencana alam maupun bencana manusia, hal-hal yang merugikan dan tidak mengenakan bagi dirinya. Manusia menjadi takut, dan ketakutan itu adalah akumulasi ketidaktahuan. Akibatnya, manusia berupaya mencari “kekuatan besar yang misterius itu” dari benda-benda di sekitar mereka yang mereka anggap memiliki khasiat besar dengan harapan mereka terlindungi dan selamat karenanya.
Manusia tempo dulu dengan peradaban yang minim, dimana kemampuan akal masih belum terlalu mendominasi jika dibanding perasaan dan aspek psikologis. Sehingga manusia cenderung menganggap benda-benda yang ditemui memiliki khasiat tertentu, matahari misalnya, yang memiliki kekuatan menumbuhkan benih, berkhasiat menerangi sela-sela dinding rumah, kemudian didefinisikan olehnya benda-benda yang berkhasiat tersebut sebagai “kekuatan besar yang misterius itu”. Lahirlah kepercayaan dinamisme, yang menuhankan benda-benda dengan khasiat tertentu (bertuah).
Lain lagi saat manusia menemukan sesuatu yang lebih dari dirinya. Misal saat bertemu dengan ksatria hebat, atau manusia dengan umur panjang, apa pun asal manusia itu memiliki kelebihan di atas rata-rata manusia lainnya. Maka timbul rasa untuk menuhankan, melebihkan atas manusia lainnya (mengkultuskan). Inilah cikal bakal animisme, kepercayan atas roh-roh leluhur. Lantas hadirlah kepercayaan terhadap orang-orang hebat, dibuktikan dengan dibuatkannya patung-patung atau monumen dari orang-orang hebat, raja-raja, ksatria, bahkan dewa-dewi. Kebudayaan Mesir dan Yunani kuno adalah dua diantara sekian banyak bukti bahwa manusia mengharapkan eksistensi Tuhan lewat sesuatu yang lebih daripadanya.
Mengapa Kita Butuh Agama ?
Secara psikologis, di bawah alam kesadaran, manusia selalu mengupayakan untuk mendapatkan sebuah kebenaran. Mengutip dari Arnall,
“Everybody attempt to get that truth, human beings hate uncertainty, we would rather accept answers that maybe aren’t great or aren’t really proven just to avoid the uncertainty of not knowing, it’s very hard for people to say i don’t know. People will accept even it’s not a great answer at least it’s something to kind of base their life around it acts as a foundation now to build your life upon. People create beliefs, they trying to find explanations and what is the best explanation for something that is unknowable, finally a magic is the thing that people land on into their mind”.
Sejatinya, manusia sangat membenci ketidakpastian dan ketidaktahuan. Manusia lebih suka menerima jawaban yang mungkin tidak bagus atau tidak benar-benar terbukti hanya untuk menghindari ketidakpastian karena tidak mengetahuinya, sangat sulit bagi seseorang mengatakan “I don’t know”. Orang-orang lalu menciptakan kepercayaan, mereka mencoba mencari penjelasan dan penjelasan. Penjelasan terbaik untuk sesuatu yang misterius, tidak dapat diketahui, dan sihir, hal-hal gaib bahkan mitos adalah hal yang akhirnya ditanamkan orang ke dalam pikiran mereka sebagai jawaban seadanya yang bahkan sebagian tidak benar-benar terbukti, hanya demi menghindari ketidakpastian dan ketidaktahuan yang mereka alami.
Bukti atas hal demikian, sangat tersedia sepanjang peradaban manusia. Kelaziman antropomorfisme yang belakangan ini mencuat dalam deret istilah keilmuan, cukup mapan dalam menjelaskan tindakan-tindakan manusia yang rajin memberikan atribusi berupa karakteristik, perasaan, bahkan tujuan yang alamiahnya hanya dimiliki manusia, namun diberikan pula kepada entitas bukan manusia seperti patung, benda-benda berkhasiat (keramat), orang-orang dengan kehebatan dan kelebihan tertentu, dan roh nenek moyang. Hal ini dianggap oleh para ahli sebagai kecenderungan bawaan psikologi, karena berasal dari alam bawah sadar manusia dengan tanpa adanya kuasa menghilangkan atau meredam gejolaknya. Jangankan diredam, meminta sedikit perasaan itu untuk singgah pun tak ada . Perasaan itu, yang sekarang disebut sebagai naluri beragama, sudah muncul bersamaan ketika manusia itu ada.
![]() |
Rebahan jalan ninjaku https:za-bobro.livejournal.com |
Beragama Lalu Mengenal Tuhan atau Mengenal Tuhan Lalu Beragama ?
Bertuhan
adalah naluri manusia yang harus terpenuhi, jika tidak, manusia akan terus mencari
dan bertanya. Atas konsekuensi yang demikianlah, sang Kuasa memberikan sebuah alat
yang kinerjanya mirip seperti kompas, fungsinya mengarahkan manusia untuk bisa
mengenalinya, alat itu bernama akal. Menemukan kebenaran tentang siapa “kekuatan
besar yang misterius itu” harus ditempuh
lewat akal. Akan tetapi, mengenal Tuhan sebagai pemilik “kekuatan besar yang
misterius itu” harus dituntun agama. Dengan demikian, kenalilah Tuhan sang “kekuatan
besar yang misterius itu” lalu beragama. Karena Tuhan yang pasti benar bisa
dicari dan dibuktikan eksistensinya lewat akal, dan agama yang pasti benar tidak
pernah meniadakan peran akal. Agama yang pasti benar akan mengajak manusia
untuk senantiasa berpikir.
Catatan Kaki
Brandon Ambrosino, dalam essaynya Do Humans Have a "Religion Instict" oleh BBC Future
Clayton Arnall, Do Humans Have a "Religion Instict"
Comments
Post a Comment