Cuitan dan Komentar

 Akal yang Bertuhan atau Tuhan yang Berakal ?


Gambar hanya pemanis yang gak manis-manis amat


Pertanyaan ini dipungut oleh penulis dari salah satu media UKM perguruan tinggi negeri Islam di Indonesia. Namun saat ingin mengambil screenshoot judul artikel asli yang ingin penulis sisipkan sebagai gambar pemanis, entah kemana sudah menghilang. Ya sudahlah ....

Sepintas menarik jika dibawa menuju mahkamah inkuisisi, maksudnya dalam ranah diskusi. Akankah pertanyaan tersebut bisa memuat jawaban yang level kebenarannya memuaskan pikiran. Mari mengulik satu per satu, dimulai dari kalimat "Akal yang Bertuhan". 

Fenomena akal yang bertuhan sebenarnya marak ditemukan contoh kasusnya dalam setiap lini sejarah peradaban manusia, sebab dalam setiap lajur peradaban tak ada satu pun manusia yang berusaha menyimpan akalnya dalam saku celana, seperti itulah kiranya peradaban terus bercerita. 

Keadaan yang paling profan dalam menyebutkan "Akal yang Bertuhan", adalah saat manusia tidak mau mengakui akal pikiran pada dirinya memiliki sebuah kelemahan. Kelemahan akal tercipta karena manusia tidak dapat berpikir dan mengolah informasi tanpa referensi. Ambil contoh, mengapa manusia bisa membaca peradaban sebelumnya dan membangunnya kembali pada masa sekarang ?. Bagaimana manusia yang pada awalnya hanya memahat patung Zeus dan Hera kemudian berselang tahun memahat Akropolis dan Artemis yang megah ?. Semua itu bisa terjadi karena mereka mengantongi informasi yang telah mereka dapatkan sebelumnya, barulah mereka bisa mengembangkan penemuan berikutnya. Meski manusia bisa membaca dua langkah ke belakang, ia tidak akan pernah bisa sampai kapan pun membaca dua langkah ke depan. Manusia tidak bisa membaca masa depan. Sebab, tak ada referensi yang mengarahkan mereka untuk bisa membaca masa depan, informasi yang tersedia hanyalah informasi dua langkah ke belakang. Kalau manusia berhasil membaca masa depan, maka tak mungkin Athena dibangun sebegitu megah hanya untuk diobrak-abrik Sparta.

Maka akal yang bertuhan ini digambarkan lagi secara gamblang oleh Sigmund Freud.  Baginya, Tuhan adalah ciptaan manusia, karena manusia selalu memikirkan Tuhan dalam otaknya, apalagi saat kesusahan dan menderita, gambar Tuhan yang paling sering muncul di kepala. Tuhan tidak menciptakan manusia, melainkan Tuhan adalah hasil ciptaan angan-angan manusia, proyeksi pikiran manusia saat putus asa, gambaran imajiner yang hanya ditemukan di korpus otak dan tidak pernah sama sekali muncul dalam pupil mata. Agama, malah makin tidak bisa diandalkan. Akal menjadi tak berfungsi, saat manusia melakukan hal-hal di luar nalar ; mencium batu, memandikan sapi, mengelilingi bangunan,  semua itu dilakukan demi sebuah penghambaan kepada Tuhan. Lebih parahnya, agama mengibaratkan manusia sebagai wayang dan Tuhan sebagai dalang. Mana mungkin yang tak terlihat oleh mata kepala malah jadi yang paling berkuasa ? sementara manusia yang batang hidungnya bisa diraba bahkan upilnya sekalipun, hanya menjadi pemain yang tak bernyawa? ...... Mengapa ....

Jika akal bertuhan, tak akan ada habisnya manusia menyuruh agar Tuhan bisa semau yang ia minta : harus bisa dilihat lah, bikin aturannya jangan susah-susah lah, karena Tuhan baik maka semua orang harus masuk surga lah, bisa dicium lah, eh... (gak berani sih ini). Menjadi terlalu jenaka jika Tuhan benar-benar harus bisa memuaskan seluruh keinginan penduduk dunia, yang bahkan mengakui dirinya sendiri tak sempurna. Sulit meminta Tuhan agar terlihat mata, sebab kedudukannya berbeda, Ia adalah Tuhan dan yang meminta adalah ciptaan-Nya. Lagipula, tak pernah ada yang bertemu Tuhan secara langsung sebelumnya, maka sulit sangat memvalidasi rupa-Nya. Apakah semua hal harus terlihat mata? Bukankah manusia bisa meyakini keberadaan Imperium Roma yang pernah berkuasa dari dinding indah nan dingin Colosseum, mengapa manusia justru meninginkan dirinya hidup saat Gladiator itu dimainkan?.... 

Tolong, wahai manusia, jangan menyusahkan diri sendiri. Saat para manusia yang akal bertuhan itu gagal menangkap kesan kota Paris yang romantis, apakah kota Paris akan lenyap tiba-tiba?, apakah kota Paris yang romantis itu akan berubah menjadi Monas kalau kita tidak mengunjunginya langsung ? .... Please... Untuk membuktikan ada tidaknya sesuatu, tidak melulu harus menuntut mata kepala. Untuk beberapa kasus memang dibutuhkan kesaksian oleh mata, tapi .... kasus yang membutuhkan kesaksian mata itu harus bener-bener mampu juga divalidasi. Kan lucu, kalau menuntut Tuhan bisa dilihat mata tapi ..... tak ada manusia yang sanggup melakukan penerbangan ke akhirat untuk memvalidasinya, atau minimal ada manusia yang bisa membangunkan mumi Fir'aun dari kematian untuk sama-sama memvalidasi keberadaan Tuhan. Sama lucunya jika tidak punya uang untuk liburan ke London tapi menuntut Big Bang Tower agar terlihat di sekitar Cikampek. Untuk pembuktian sekelas Tuhan, kita hanya diperkenankan untuk menangkap kesan keberadaan-Nya dari alam semesta ini, Sobat. Benarlah apa yang dikata oleh Muhammad, bahwa mereka yang tidak mau mengakui Tuhan itu ada adalah orang-orang yang sombong, merasa paling hebat karena menyuruh Tuhan untuk terlihat oleh dirinya, menolak kebenaran bahwa sebenarnya manusia adalah lemah dan terbatas. Menebak satu detik nasib kehidupannya di masa depan saja sering meleset, apalagi menyuruh Tuhan untuk nampak di bola matanya. 

Selanjutnya kita bahas kalimat, "Tuhan yang Berakal". Mustahil Tuhan bisa berakal, sebab yang punya akal cuma manusia, yaaa seperti yang selama ini mereka gaungkan, cogito ergo sum ..... Kalau Tuhan berakal, maka gugur aspek ketuhanannya, yaaa akhirnya tidak bisa disebut Tuhan lagi deh. Ini menjadi bukti dan pelajaran,  bahwa manusia itu memang sangat berambisi untuk membuat penggambaran Tuhan sekehendaknya. Manusia model begitu anehnya selalu ada di setiap masa. Maklum sih, soalnya manusia makhluk berakal, dan akal selalu haus akan informasi baru, apalagi berkaitan dengan hal-hal yang belum pernah manusia ketahui. Namun, manusia lupa cara lain memuaskan akal, yang mereka tahu hanya lewat pengindraan secara indrawi saja. Nah, di sinilah urgensinya agama dan wahyu. Sebab dua hal itulah yang bisa menjelaskan mana yang bisa digapai manusia, dan mana yang tidak. Pun, perkara-perkara Tuhan sebaiknya diserahkan kepada wahyu, sebab ada Nabi dan Rasul yang membawa Risalah Tuhan, dan dari merekalah kita bisa memvalidasi keberadaan Tuhan (yaa karena Nabi dan Rasul adalah utusan-Nya), kecuali memang tidak percaya kenabian, ya sudah....

Maka, kalimat yang tepat dan benar adalah... Mari Bertuhan dengan Akal. Karena jika kita bertuhan dengan akal, kita senantiasa mencari keberadaan Tuhan, namun di sisi lain kita pun sadar bahwa tidak bisa secara fisik menemui Tuhan (sadar akalnya terbatas). Ada yang lebih berhak memvalidasi secara fisik Tuhan itu seperti apa dan bagaimana bentuknya, dan yang lebih berhak memvalidasi ada atau tidaknya Tuhan adalah seluruh alam dunia ini beserta fenomena keteraturannya yang beberapa hal tak sanggup dijelaskan alasannya, dan tak mampu manusia mendatangkan buktinya. Serta wahyu yang difirmankan-Nya untuk hamba-Nya melalu Nabi dan Rasul sebagai penyampai pesan, sebagai yang berhak menghubungkan alam Tuhan dan alam manusia. Ingat loh, cuma Tuhan yang bisa mendeskripsikan dirinya sendiri. Kalau manusia mendikte Tuhan, bahkan mendikte agar keberadaannya bisa diketahui oleh semua orang, awas ini Tuhan palsu yang sering mengaku berkuasa hebat di muka bumi. Iblis pun dikeluarkan dari surga karena merasa paling hebat daripada Adam. 



Tuhan itu ada, sebab kerumitan dunia yang masih misteri ini tidak bisa dipecahkan oleh manusia secara sendiri bahkan jika itu dengan matematika sekalipun. Jika Tuhan tidak ada, datangkan juga buktinya secara matematika.

Sebagai manusia, ada hal yang tak bisa kita mengerti dan tidak diwajibkan untuk mengerti juga sih hehe....


Comments

Popular posts from this blog

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar part II

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar part III (akhir)