Filsafat Barat
ARISTOTELES
1. Aristoteles lahir di Stageria di Semenanjung
Kalkidike, Trasia (Balkan) pada tahun 384 SM., dan meninggal di Kalkis pada
tahun 322 SM., di usianya ke-63. Bapaknya adalah seorang dokter dari raja
Macedonia, Amyntas II. Sampai usia 18 tahun ia mendapatkan pendidikan langsung
dari ayahnya tersebut.
2. Setelah sang ayah meninggal, Aristoteles pergi ke
Athena dan berguru kepada Plato di Akademia. 20 tahun lamanya ia menjadi murid
Plato. Ia rajin membaca dan mengumpulkan buku sehingga Plato memberinya
penghargaan dan menamai rumahnya dengan ‘rumah pembaca’.
3. Aristoteles sependapat dengan gurunya (Plato),
bahwa tujuan yang terakhir dari filsafat adalah pengatahuan tentang ‘adanya’
(realitas) dan ‘yang umum’. Ia memiliki keyakinan bahwa kebenaran yang
sebenarnya hanya dapat dicapai dengan jalan pengertian. Bagaimana memikirkan
‘adanya’ itu? Menurut Aristoteles ‘adanya’ itu tidak dapat diketahui dari
materi atau benda belaka; dan tidak pula dari pikiran semata-mata tentang yang
umum, seperti pendapat Plato. ‘Adanya’ itu terletak dalam barang-barang
satu-satunya, selama barang itu ditentukan oleh yang umum.
4. Aristoteles memiliki pandangan yang lebih realis
daripada Plato. Pandangannya ini merupakan akibat dari pendidikan orang tuanya
yang menghadapkannya kepada bukti dan kenyataan. Aristoteles terlebih dahulu
memandang kepada yang kongkrit, yang nyata. Ia mengawalinya dengan fakta-fakta,
dan fakta-fakta tersebut disusunnya menurut ragam dan jenis atau sifatnya dalam
suatu sistem, kemudian dikaitkannya satu sama lain.
5. Logika. Aristoteles terkenal sebagai ‘bapak’
logika. Logika tidak lain dari berpikir secara teratur menurut urutan yang
tepat atau berdasarkan hubungan sebab dan akibat. Ia sendiri memberi nama model
berpikirnya tersebut dengan nama ‘analytica’, tetapi kemudian lebih
populer dengan dengan sebutan ‘logika’.
6. Intisari dari ajaran logikanya adalah silogistik,
atau dapat juga digunakan kata ‘natijah’ dalam bahasa Arab. Silogistik
maksudnya adalah ‘uraian berkunci’, yaitu menarik kesimpulan dari
pernyataan yang umum atas hal yang khusus, yang tersendiri. Misalnya: Semua
manusia akan mati (umum); Aristoteles adalah seorang manusia (khusus);
Aristoteles akan mati (kesimpulan). Pertimbangan ini, yang berdasarkan
kenyataan umum, mencapai kunci keterangan terhadap suatu hal, yang tidak dapat
disangkal kebenaranya.
7. Pengetahuan yang sebenarnya, menurut
Aristoteles, berdasar pada pembentukan pendapat yang umum dan pemakaian
pengetahuan yang diperoleh itu atas hal yang khusus. Misalnya, ‘korupsi itu
buruk’; untuk membuktikan pernyataan yang sifatnya umum tersebut dapat
diperoleh dari kasus yang menunjukkan bahwa ‘korupsi itu ternyata telah
merugikan negara dan kesejahteraan warga negara’. Pengetahuan yang umum
bukanlah tujuan itu sendiri, tetapi merupakan jalan untuk mengetahui keadaan
yang konkrit, yang merupakan tujuan ilmu yang sebenarnya.
8. Pengalaman, menurut Aristoteles, hanya menyatakan
kepada kita ‘apa yang terjadi’; sedangkan pengertian umum menerangkan ‘apa
sebab itu terjadi’. Pengertian ilmiah mencari yang umumnya, karena itu
diselidikinya sebab-sebab dan dasar-dasar dari segala yang ada. Memperoleh
pengertian, yaitu menarik kesimpulan atas suatu hal yang individual, yang
spesifik, yang tersendiri, yang particular, dari yang umum, dapat dipelajari dan
diajarkan caranya kepada orang lain.
9. Aristoteles membagi logika dalam tiga bagian,
yaitu mempertimbangkan, menarik kesimpulan, dan membuktikan atau menerangkan.
Suatu pertimbangana itu ‘benar’, apabila isi pertimbangan itu sepadan dengan
keadaan yang nyata. Pandangan ini sepadan dengan pendapat Sokrates yang
menyatakan bahwa ‘buah pikiran yang dikeluarkan itu adalah gambaran dari
keadaan yang objektif’.
10. Menarik kesimpulan atas yang satu dari yang lain
dapat dilakukan dengan dua jalan. Pertama, dengan jalan silogistik, atau
disebut juga apodiktik, atau deduksi. Kedua, menggunakan cara epagogi atau
induksi. Induksi bekerja dengan cara menarik kesimpulan tentang yang umum dari
pengetahuan yang diperoleh dalam pengalaman tentang hal-hal yang individiil atau
partikular.
11. Menurut Aristoteles, realitas yang objektif tidak
saja tertangkap dengan ‘pengertian’, tetapi juga sesuai dengan dasar-dasar
metafisika dan logika yang tertinggi. Dasar metafisika dan logika tersebut ada
tiga. Pertama, semua yang benar harus sesuai dengan ‘adanya’ sendiri. Tidak
mungkin ada kebenaran kalau di dalamnya ada pertentangan. Keadaan ini disebut
sebagai hukum identika. Kedua, apabila ada dua ‘pernyataan’ tentang sesuatu, di
mana yang satu meng’ia’kan dan yang lain menidakkan, tentu hanya satu yang
benar. Keadaan ini disebut hukum penyangkalan. Ketiga, antara dua pernyataan
yang bertentangan ‘mengiakan dan meniadakan’, tidak mungkin ada pernyataan yang
ketiga. Keadaan ini disebut hukum penyingkiran yang ketiga.
12. Menurut Aistoteles, ‘adanya’ yang sebenarnya
adalah ‘yang umum’ dan pengetahuan tentang hal tersbut adalah ‘pengertian’.
Dalam hal ini pendapatnya sama dengan Plato. Adapun yang ditentang dari
pendapat Plato adalah adanya perpisahan yang absolut antara yang umum dan yang
khusus, antara idea dan gambarannya, antara pengertian dan pemandangan, dan
antara ada dan menjadi.
13. Idea, ‘yang umum’, adalah sebagai ‘adanya’ yang
sebenar-benarnya, sebab dari segala kejadian. Ilmu harus menerangkan, bagaimana
datangnya hal-hal yang khusus dan kelihatan itu dari yang umum yang diketahui
dengan pengertian. Tugas ilmu adalah ‘menyatakan’, bahwa menurut logika
pendapat yang khsusus (dari pengalaman) tidak boleh tidak datang dari
pengetahuan pengertian yang umum.
14. Matafisika. Metafisika Aristoteles berpusat pada
persoalan ‘barang’ (materi)dan ‘bentuk’. ‘Barang’ atau ‘materi’ dalam
pengertian Aristoteles berbeda dengan pendapat umum tentang materi. Barang
adalah materi yang tidak mempunyai ‘bangun’, substansi belaka, yang menjadi pokok
segala-galanya. ‘Bentuk’ adalah ‘bangunnya’. Barang atau materi tidak mempunyai
sifat yang tertentu, karena tiap-tiap penentuan kualitatif menunjukkan
bentuknya. Marmer misalnya bukanlah benda, melainkan materi untuk memperoleh
bentuk tertentu seperti tonggak marmar, patung marmar, meja marmar, dan
seterusnya.
15. Barang atau materi adalah sesuatu yang dapat
mempunyai bentuk ini dan itu. Barang atau materi hanya ‘kemungkinan’ atau
‘potensia’. Bentuk adalah pelaksanaan dari kemungkinan itu, aktualita. Hal
‘yang umum’ terlaksana dalam’yang khusus’. Dengan ‘bentuk’ pikiran seperti itu,
Aristoteles dapat memecahkan masalah yang pokok dalam filsafat teoritika
Yunani, yaitu memikiran ‘adanya’ begitu rupa, sehingga dari ‘adanya’ dapat
diterangkan proses ‘menjadi’ dan ‘terjadi’. ’Menjadi’ adalah pelaksanaan
keadaan yang sebenarnya dalam kenyataan. Dipandang dari sudut tersebut, segala
perubahan tak lain dari pembentukan materi, pelaksanaan sesuatunya yang sudah
ada dalam kemungkinan.
16. Ketika muncul pertanyaan: ‘bagaimana terjadi dari
kemungkinan saja satu pelaksanaan?’. Jawaban Aristoteles adalah ‘dari sebab
yang menggerakkan’. Sebab yang menggerakkan itu adalah Tuhan. Sebab-gerak yang
pertama yang immaterial, tidak bertubuh, tidak bergerak, dan tidak digerakkan,
cerdas sendirinya. Sebab-gerak yang pertama itu adalah Tuhan, Nus. Kepada Tuhan
atau Nus itu Aristoteles memberikan segala sifat, yang diberikan oleh Plato
kepada Idea Kebaikan, yaitu tetap selama-lamanya, tidak berubah-ubah, terpisah
dari yang lain tetapi sebab dari segala-galanya. Nus ini disamakan pula dengan
pikiran murni, pikir daripada pikir.
17. Semua perubahan itu ada empat sebabnya yang pokok.
Pertama,’barang’ atau ‘materi’ yang memungkinkan terjadi sesuatu atasnya,
disebut sebab-barang. Kedua, bentuk, yang terlaksana di dalam barang,
sebab-bentuk. Ketiga, sebab yang datang dari luar, disebut sebab-gerak.
Keempat, tujuan, yang dituju oleh perubahan dan gerak, disebut seba-tujuan.
Misa, rumah, mesti meliputi empat prinsip di atas. Materi atau barang, adalah
seperti kayu, batu, besi, dan bahan lainnya. Bentuk, adalah pengertian rumah.
Sebab-gerak ialah tukang pembuat rumah. Tujuan adalah rumah yang sudah jadi.
18. Aristoteles berpendapat bahwa segala yang terjadi
di dunia ini adalah suatu perbuatan yang terwujud karena Tuhan Pencipta alam.
Selain itu, bahwa tiap-tiap yang hidup di ala mini merupakan suatu organism
yang berkembang masing-masing menurut suatu gerak-tujuan. Alam tidak berbuat
dengan tidak bertujuan. Oleh karena itu, Aristoteles dipandang sebagai pencetus
ajaran tujuan, teleologi. Aristoteles dengan pandangannya ini telah meletakkan
dasar bagi ‘prinsip perkembangan’.
19. Filsafat alam. Alam meliputi semua yang
berhubungan dengan materi dan badan-badan yang begerak dan diam. Karena waktu
merupakan ukuran gerak terhadap yang dahulu dan yang kemudian, maka waktu
menjadi tidak berhingga, tidak ada awalnya dan tidak ada akhirnya. Lebih dari
itu dinyatakan bahwa alam ada untuk selama-lamanya. Seluruh alam adalah suatu
organism yang besar, disusun oleh Tuhan Penggerak Pertama menjadi suatu
kesatuan menurut tujuan yang tertentu.
20. Dunia tersusun menurut tujuan yang tertentu dengan
kedudukan makhluk yang bertingkat-tingkat. Dalam susunan yang bertingkat itu,
yang rendah mengabdi dan memberikan jasa kepada yang di atasnya. Tanaman
memberikan jasa kepada binatang, binatang kepada manusia, kaum perempuan kepada
kaum laki-laki, dan badan kepada jiwa. 21. Aristoteles mengemukakan ada tiga
jenis jiwa yang berurutan sifat kesempurnaannya. Pertama, jiwa tanaman, yang
tujuannya menghasilkan makanan dan melaksanakan pertumbuhan. Kedua, jiwa hewan,
selain melaksanakan pertumbuhan, jiwa hewan mempunyai perasaan dan keinginan
dan mendorong jiwa sanggup bergerak. Ketiga, jiwa manusia, yang selain dari
mempunyai perasaan dan keinginan juga mempunyai akal.
22. Bentuk jiwa yang sesuai bagi manusia menurut
Aristoteles adalah roh atau pikiran. Ia membedakan dua macam roh, yaitu roh
yang bekerja dan roh yang menerima. Apabila roh yang bekerja dapat member isi
kepada roh yang menerima, maka lenyaplah yang kemudian ini. Roh yang bekerja
memperoleh bentuknya yang sempurna. Selain itu, ada yang disebut roh praktis,
yaitu roh yang mengemudikan kemauan dan perbuatan manusia.
23. Berbeda dengan Demokritos dan Plato yang menyatakan
bahwa pusat kemauan terletak di otak, menurut Aristoteles pusat kemauan itu
terletak di hati.
24. Etika. Etika Aristoteles pada dasarnya serupa
dengan etika Sokrates dan Plato. Tujuannya adalah untuk mencapai eudaemonie,
kebahagiaan sebagai ‘barang yang tertinggi’ dalam kehidupan. Hanya saja, ia
memahaminya secara realis dan sederhana. Ia menekankan kepada kebaikan yang
tercapai oleh manusia sesuai dengan jenisnya laki-laki atau perempuan,
derajatnya, kedudukannya, atau pekerjaannya. Tujuan hidup adalah untuk
merasakan kebahagiaan. Oleh karena itu ukurannya lebih praktis.
25. Tujuan hidup bukanlah untuk mengetahui apa itu
budi, tetapi bagaimana menjadi orang yang berbudi. Oleh karena itu, tugas dari
etika adalah mendidik kemauan manusia untuk memiliki sikap yang pantas dalam
segala perbuatan. Orang harus mempunyai pertimbangan yang sehat, tahu menguasai
diri, pandai mengadakan keseimbangan antara keinginan dan cita-cita. Manusia
yang tahu menguasai diri, hidup sebagaimana mestinya, tidak terombang-ambing
oleh hawa nafsu, tidak tertarik oleh kemewahan.
26. Aristoteles mengambil ajaran jalan tengah.
Tiap-tiap budi perangai yang baik harus duduk sama tengah antara dua sikap yang
paling jauh tentangnya, misalnya berani antara pengecut dan nekat; suka member
antara kikir dan pemboros; rendah hati antara berjiwa budak dan sombong; hati
terbuka antara pendiam dan pengobrol.
27. Ada tiga hal yang perlu dipenuhi untuk mencapai
kebahagiaan hidup. Pertama, manusia harus memiliki harta secukupnya, supaya
hidupnya terpelihara. Kedua, alat yang terbaik untuk mencapai kebahagiaan
adalah persahabatan. Ketiga, keadilan. Keadilan dalam arti pembagian barang
yang seimbang sesuai dengan tanggung jawab dan keadilan dalam arti memperbaiki
kerusakan yang ditimbulkan.
28. Kebahagiaan akan menimbulkan kesenangan jiwa.
Kesenangan jiwa ini akan mendorong seseorang untuk bekerja lebih giat.
29. Negara. Pelaksanaan etika baru akan sempurna
apabila dilaksanakan di dalam negara. Manusia adalah zoon politikon, makhlukn
sosial. Ia tidak dapat berdiri sendiri. Hubungan manusia dengan negara adalah
sebagai bagian terhadap seluruhnya. Tujuan negara adalah mencapai keselamatan
untuk semua penduduknya, memperoleh ‘barang yang tertinggi’, yaitu kebahagiaan.
Keadilan adalah unsur negara yang esensil, untuk mencapai kebahagiaan.
30. Kewajiban negara adalah mendidik rakyat
berpendirian tetap, berbudi baik, dan pandai mencapai yang sebaik-baiknya.
31. Aristoteles menentang adanya penumpukkan capital
pada seseorang. Oleh karena itu ia mencela profesi pedagang. Ia sangat
menentang tukar-menukar dengan cara riba. Ia bahkan menganjurkan supaya negara
mengambil tindakan yang tepat untuk mepengaruhi penghidupan sosial, dan
ukurannya adalah kepentingan yang sama tengah. Bagi Aristoteles, tiang
masyarakat adalah kaum menengah yang berbudi baik.
32. Menurut pendapatnya, ‘perbudakan adalah cetakan
alam’; sebagian manusia ada yang lahir untuk menjadi tuan dan sebagian menjadi
budak yang mengerjakan pekerjaan kasar. Perbudakan akan hilang apabila sudah
terdapat alat otomtis yang melakukan pekerjaan dengan sendirinya.
33. Aristoteles mengemukakan tiga bentuk negara. Pertama,
monarki atau basilea. Kedua, aristokrasi, yaitu pemerintahan oleh orang-orang
yang sedikit jumlahnya. Ketiga, Politea atau timokrasi, yaitu pemerintahan
berdasarkan kekuasaan keseluruhan rakyat. Dalam istilah sekarang disebut
demokrasi. Dari tiga bentuk negara tersebut, yang terbaik menurutnya adalah
kombinasi antara aristokrasi dan demokrasi. Kombinasi antara aristokrasi dan
demokrasi adalah yang sebaik-baiknya. Dalam pandangan ini ternyata Aristoteles
pun mengambil jalan tengah.
Comments
Post a Comment