Al-Ghazali dan Usahanya Membentengi Islam dari Pengaruh Filsafat Yunani
Get to Know about Al-Ghazali
![]() |
| https://tebuireng.online/ |
1. Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi
as-Syafi’i al-Ghazali. Secara singkat dipanggil al-Ghazali atau Abu Hamid
al-Ghazali. Beliau lahir di Thus, Khurasan, Iran, dekat Masyhad sekarang,
pada tahun 450 H/1058 M. Beliau dan saudaranya, Ahmad, ditinggal yatim pada
usia dini. Pendidikannya dimulai di Thus. Lalu, al-Ghazali pergi ke Jurjan.
Kemudian, beliau ke Naisabur, tempat beliau menjadi murid al-Juwaini Imam
al-Haramain hingga meninggalnya yang terakhir pada tahun 478 H/1085 M. Al-Ghazali
merupakan seorang pemikir ulung yang menyandang gelar “Pembela Islam”
(Hujjatul Islam), “Hiasan Agama” (Zainuddin), “Samudera yang
Menghanyutkan” (Bahrun Mughriq), dan lain-lain. Dalam pengantar Ihya’
Ulumuddin disebutkan bahwa : “Pada abad ke 5 H lahirlah beberapa ilmu dari
pemikir Islam, yaitu Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad al- Ghazali.” Sebelum meninggal ayah al-Ghazali berwasiat kepada
seorang ahli tasawuf temannya, supaya mengasuh dan mendidik al-Ghazali dan
adiknya Ahmad. Setelah ayahnya meninggal, maka hiduplah al-Ghazali di bawah
asuhan ahli tasawuf itu.
2. Khusus untuk Misykat Al-anwar, banyak sekali edisi terjemahannya yang dilakukan oleh para sarjana muslim dunia. Karya Al-Ghazali ini lebih dari menuliskan tafsir Surat An-Nur ayat 35. Ghazali mentakwilkan atau meta-tafsir dari ayat-ayat tersebut. Sementara karya kitab masyhur lainnya yang kerap menjadi pegangan untuk ilmu akhlak atau etika hidup adalah Ihya' Ulumuddin. Kitab ini bersama dengan Ihya' Ulumuddin masuk dalam rumpun kitab-kitab tasawuf Imam Al-Ghazali.
3. Setelah mengabdikan diri untuk ilmu pengetahuan berpuluh-puluh tahun
dan setelah memperoleh kebenaran yang hakiki pada akhir hidupnya,beliau
meninggalkan dunia di Thus pada 14 Jumadil Akhir 505 H/19Desember 1111 M,
dihadapan adiknya, Abu Ahmadi Mujidduddin. Beliau meninggalkan tiga orang anak
perempuan sedang anak laki-lakinya yang bernama Hamid telah meninggal dunia
semenjak kecil sebelum wafatnya (al-Ghazali), karena itulah beliau diberi gelar
“Abu Hamid” (Bapak si Hamid).
Tahafut
al-Falasifah
1. Pada tahun 1091 Sultan Nizham al-Mulk mengangkat Al-Ghazali sebagai Guru
Besar Hukum di Madrasah Nizhamiyah Baghdad. Madrasah ini merupakan salah satu
perguruan tinggi paling bergengsi di zamannya, yang salah satu tujuan
pendiriannya adalah untuk menghadapi propaganda ajaran Ismailiyah dari Dinasti
Fatimiyah. Tahafut al-Falasifah merupakan satu dari empat seri teologis yang
Al-Ghazali hasilkan selama masa jabatannya sebagai Guru Besar Hukum di
Nizamiyah. Karya pertama adalah ringkasan pemikiran filsafat yang berjudul Maqāsid
al-Falāsifa (Tujuan para Filsuf). Dalam Maqāsid Al-Ghazali secara
jelas mengatakan buku ini merupakan pengantar bagi Tahāfut. Tahāfut
al-Falāsifa adalah karya kedua dan utama dari seri teologi ini. Karya
ketiga, Miyar al-Ilm fi Fan al-Mantiq (Kriteria Pengetahuan dalam Ilmu
Logika), ditujukan sebagai lampiran bagi Tahafut dan berisi rangkuman
pengajaran Ilmu Kalam dari Ibnu Sina. Dan karya terakhir adalah Al-Iqtisād fī
al-Iʿtiqad, sebuah eksposisi Teologi Asy'ariyah untuk mengisi doktrin
teologi-metafisika yang Al-Ghazali kritik dalam Tahāfut.
2. Serial ini jelas menunjukkan bahwa Al-Ghazali tidak menyangkal semua
ilmu filsafat seperti yang diyakini banyak sarjana. Al-Ghazali menyatakan bahwa
ia tidak menemukan cabang filsafat lain termasuk fisika, logika, astronomi atau
matematika bermasalah, satu-satunya perselisihannya adalah dengan metafisika di
mana ia mengklaim bahwa para filsuf tidak menggunakan alat yang sama, yaitu
logika, yang mereka gunakan untuk ilmu lain.
3. Dalam buku Tahāfut al-Falāsifa, Al-Ghazali menulis 20 daftar
kerancuan logika para filsuf terkait teologi Islam. Dari daftarnya itu, 17
diantaranya dinyatakan sebagai sesat atau bid'ah, dan 3 lainnya dianggap
sebagai tanda kekafiran. Tiga butir kerancuan yang Al-Ghazali anggap sebagai
tanda kekafiran adalah: Pertama, pendapat bahwa alam semesta senantiasa ada dan
tanpa permulaan; kedua, pendapat bahwa Tuhan hanya mengetahui perkara-perkara
mujmal (umum) dan bukan hal-hal parsial atau khusus; dan ketiga, pendapat bahwa
hanya ruh (dan bukan jasad) yang akan dibangkitkan di hari akhir.
References
· Leaman, Oliver (2002). An Introduction to Classical Islamic Philosophy.
Cambridge University Press. hlm. 55. ISBN 978-0-521-79757-3.
· Adamson, Peter (2016). Philosophy in the Islamic World: A History of
Philosophy Without Any Gaps. Oxford University Press. hlm. 148. ISBN
978-0-19-957749-1.
· Al-Ghazzālī (2000). The Incoherence of The Philosophers (Tahāfut
al-Falāsifah): A Parallel English-Arabic Text. Michael E. Marmura (translator).
Utah: Brigham Young University Press. ISBN 0842524665.

Comments
Post a Comment