Bagaimana Menyikapi Persoalan Palestina
Sejarah Palestina
![]() |
San Diego Union-Tribune |
Kekalahan perang salib yang diterima pihak Kristen Eropa membuat mereka
sangat malu. Sehingga, pemimpin pasukan salib yang terakhir, King Louis IX
berusaha menyusun rencana lain setelah menyelesaikan perjalanannya dari Mesir.
King Louis IX mencatat hambatan-hambatan yang diterima pasukan salib sekaligus
memfokuskan pada sebab-sebab kegagalan. Sehingga, sampailah Ia pada sebuah
kesimpulan bahwa kaum Muslimin tidak bisa dibinasakan dengan sekadar perang
fisik, keyakinan mereka dalam hal jihad dan mati syahid (Martyrdom) sangat
kuat, hingga meskipun gelombang pertama berhasil dikalahkan, gelombang
berikutnya bisa muncul tak terhingga. Karena Yesus merupakan simbol cinta kasih
untuk seluruh umat manusia, mereka sulit menemukan keyakinan yang demikian
dalam penganut Kristen. Belum lagi orang Nasrani Timur (Kristen Orthodoks)
kerap berada pada pihak Muslim.
Oleh karena itu, King Louis mempersiapkan serangan baru yang ditujukan
kepada umat Islam yakni serangan pemikiran (ghazwul fikri) dengan digalakkannya
kajian orientalisme dan misionaris. Orientalisme awalnya berkembang di
Andalusia, namun fokusnya hanya transfer pengetahuan. Kegiatan yang dilakukan
pun hanya seputar penerjemahan teks-teks Arab saja, terjadi abad pertengahan.
Setelah meletusnya perang salib, abad ke
12 pada masa Peter Agung (sekitar 1094-1156 M), kepala Biara Pria Cluny di
Prancis yang hingga saat ini menjadi lembaga utama pengetahuan Kristen melakukan
kembali studi Islam, namun fokusnya menjadi berubah untuk menjajah negeri Timur
dan meneliti kelemahan Islam. Semula lembaga kajian orientalisme massif
dilakukan di Prancis, namun King Louis IX memerintahkan pemindahannya ke
Beirut, Lebanon tahun 1625. Sekaligus memerintahkan gerakan misionaris yang
juga menitikberatkan kaum Kristen Orthodoks sebagai pelopornya. Keraguan-keraguan
pun mulai ditanamkan kepada umat Islam, sementara itu Yahudi semakin rajin
melakukan pertemuan dan kongres-kongres.
Belum
lagi, Inggris yang ingin mengusai wilayah Timur Tengah (sebab potensi
minyaknya) mulai menanamkan paham nasionalisme dan mengadu domba para pemimpin
arab. Pihak pertama yang diadu domba oleh Inggris adalah gubernur Mekkah dan
Madinah, Syarif Hussain bin Ali yang memerintah Haramain atas kuasa Khalifah
Utsmani. Termakan hasutan Inggris, Syarif Mekkah tersebut melakukan
pemberontakan terhadap kekhalifahan Utsmani yang dibantu persenjataan oleh
Inggris, tertera dalam Korespondensi McMahon-Hussein dari Juli 1915 - Maret
1916. Syarif Mekkah menamakan pemberontakannya sebagai Revolusi Arab Raya yang
bertujuan untuk menyatukan seluruh bangsa Arab dibawah pemerintahannya dan
melepaskan diri dari kekhalifahan Utsmani pada 8 Juni 1916. Sehingga, Inggris
membuat kesepakatan bahwa mereka akan memberikan wilayah yang dihuni etnis Arab
kepada Syarif Hussain bin Ali.
Pada
tanggal 21 Oktober 1915, Gray (Menlu Inggris) bertemu Cambon (Perancis) dan
menyarankan Prancis agar membahas cepat perbatasan masa depan Suriah karena
Inggris ingin mendukung pembentukan negara Arab yang merdeka. Pada titik ini
Gray dihadapkan dengan klaim yang bersaing dari Perancis dan dari Hussein
tentang wilayah Suriah, namun Gray telah mengirim telegram ke Kairo memberitahu
Komisaris Tinggi agar tidak terlalu jelas dalam surat berikutnya kepada Sharif
ketika membahas sudut barat laut, Suriah. Wilayah yang diklaim Hussein dan
meninggalkan McMahon dengan "kebijaksanaan dalam masalah ini karena ini
mendesak dan tidak ada waktu untuk membahas formula pastinya",
menambahkan, "Jika diperlukan sesuatu yang lebih tepat dari ini, Anda
dapat memberikannya." Inggris berkhianat dan tidak memberikan wilayah
Arab kepada Hussein.
Peristiwa
Gencatan Senjata Mudros, yang mengakhiri pertempuran teater Timur Tengah Perang
Dunia I, kekalahan kekhalifahan Utsmaniyah melawan sekutu, ditandatangani pada
tanggal 30 Oktober 1918 oleh Rauf Bey Laksamana Angkatan Laut Kekhalifahan
Utsmaniyah dan laksamana Britania, Somerset Arthur Gough-Calthorpe, di atas
kapal HMS Agamemnon di pelabuhan Mudros, pulau Lemnos, Yunani. Penyerahan
Pedang Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah simbol bahwa Khalifah telah kalah
dalam perang besar dan mengakui mandat Sekutu di timur Tengah. Lalu, Perjanjian
Sèvres ditandatangani oleh Mehmed Hadi Pasha (utusan Khalifah Mehmed VI)
merupakan perjanjian setelah Perang Dunia I antara Turki Usmani dengan Sekutu
pada tanggal 10 Agustus 1920 yang menyebabkan Utsmani harus kehilangan wilayah
penting di Timur Tengah dan mengakui berdirinya kerajaan Hejaz.
Setelah
berhasil mengalahkan Turki Utsmani, Syarif tidak memperoleh wilayah yang ia
minta dari Inggris. Inggris mengkhianati perjanjian itu. Setelah perjanjian
rahasia Inggris dan Perancis dibocorkan oleh kaum Bolshevik, yakni Sykes-Picot
(1916). Rencana jahat Inggris terungkap untuk membagi-bagi wilayah Timur Tengah
dimana Irak, Palestina, Mesir, Jordan adalah milik Inggris (British Mandate).
Sementara Perancis memperoleh Suriah. Perjanjian itu disusun ketika perang
dunia berlangsung.
Atas
saran dari intelejennya di wilayah Arab, T.E Lawrence. Inggris membagi Timur
Tengah menjadi beberapa negara bangsa (nation-state), dan pemimpin yang
ditunjuk adalah keempat putra Syarif Hussain sendiri. Sayangnya, Syarif Hussain
bin Ali menyatakan diri sebagai Khalifah Islam setelah Turki Utsmani kalah
dalam PD I. Inggris melihat ini sebagai ancaman, sebab Inggris mengetahui bahwa
Syarif Hussain bin Ali berasal dari keturunan Hasyimiyah (Hasemite) yang taat
dan dikhawatirkan berniat mendirikan kekhilafahan jilid II. Maka, pada tahun
1924 Inggris menghasut dan membantu keluarga Saud untuk merebut Hijaz.
Akibatnya, Syarif Hussain harus turun tahta dan digantikan oleh anaknya, Ali
bin Hussain bin Ali untuk mengurus Kerajaan Hejaz. Menurut T.E Lawrence,
keempat putra Syarif Mekkah ini berbeda pendapat dengan ayahnya. Jika ayahnya
menginginkan persatuan seluruh Arab dan menjadi khalifah, putra-putra
Syarif justru menginginkan sebaliknya, dan tidak ingin disebut sebagai khalifah.
Benar
saran dari T.E Lawrence, Ali bin Hussain tidak mau menjadi khalifah. Meski
begitu, Inggris yang khawatir akhirnya tetap melanjutkan politik adu dombanya,
menghasut keluarga Saud untuk mengambil alih kekuasaan Ali bin Hussain secara
permanen. Keluarga Saud yang dibantu kelompok Wahabbi mampu menguasai kerajaan
Hejaz dan menyatukan kerajaannya Nejd pada Desember 1925. Ali bin Hussain pun berlindung di Irak, di daerah
kekuasaan adiknya Faisal. Penyatuan Hijaz dan Nejd adalah cikal bakal lahirnya
negara Saudi Arabia pada 1932.
Inggris
pun membagi daerah tersebut kepada ketiga putra Syarif Hussain yang lainnya
(lihat solusi Syarif). Putra keduanya, Abdullah bin Hussein bin Ali memerintah
wilayah Transjordan, yang kemudian menjadi penguasa Jordania bergelar prince
Abdullah I from Jordan oleh Inggris.
Kemudian putra ketiganya yakni Faisal diberi tanah di Irak dan Suriah, yang
akhirnya bergelar King Faisal I from Iraq, oleh Inggris. Putra
terakhirnya Zeid bin Hussein diberikan wilayah Mesopotamia Hulu (dekat Irak).
Jauh
sebelum itu, saat Inggris mendeklarasikan perang terhadap Kesultanan Utsmaniyah
pada bulan November 1914, Kabinet Perang Inggris mulai menimbang-nimbang masa
depan Palestina. Dalam tempo dua bulan, Herbert Samuel, anggota kabinet Inggris
yang merupakan seorang Zionis, mengedarkan memorandum di kabinet, berisi usulan
untuk mendukung cita-cita perjuangan Zionis demi mendapatkan dukungan orang
Yahudi bagi kepentingan Inggris di dalam Perang Dunia I. Pada bulan April 1915,
Perdana Menteri Inggris, Herbert Henry Asquith, membentuk sebuah panitia khusus
untuk merumuskan kebijakan pemerintah Inggris terkait Kesultanan Utsmaniyah,
termasuk Palestina. Asquith, yang menghendaki agar Kesultanan Utsmaniyah
direformasi seusai perang, meletakkan jabatan pada bulan Desember 1916.
Penggantinya, David Lloyd George, justru menghendaki agar negara Kesultanan
Utsmaniyah dipecah-belah. Negosiasi-negosiasi permulaan antara pemerintah
Inggris dan kaum Zionis berlangsung di dalam sebuah konferensi pada tanggal 7
Februari 1917, yang dihadiri Sir Mark Sykes dan tokoh-tokoh pimpinan Zionis.
Menindaklanjuti diskusi-diskusi susulan seusai konferensi, pada tanggal 19
Juni, Arthur Balfour meminta Walter Rothschild dan Chaim Weizmann untuk
mengajukan semacam rancangan deklarasi dukungan. Rancangan tersebut selanjutnya
dibahas dalam rapat kabinet dengan mempertimbangkan masukan-masukan dari
golongan Yahudi Zionis maupun golongan Yahudi anti-Zionis, tetapi tidak
melibatkan perwakilan dari masyarakat Palestina.
Setahun
setelah Sykes-Picott ditulis, menyusul berita kekalahan Utsmani. Mengetahui
perkembangan ini, Lord Lionel Walter Rothcilds segera menyurati pemerintah
Inggris, berkonsultasi tenatng keinginannya dan gerakan Zionis untuk tinggal di
tanah Palestina seperti ajuan Herzl. Deklarasi Balfour dikeluarkan Pemerintah Inggris pada
tahun 1917 semasa Perang Dunia I, mengumumkan dukungan bagi pembentukan sebuah
"kediaman nasional bagi bangsa Yahudi" di Palestina. Saat itu,
Palestina adalah salah satu daerah di dalam wilayah Kesultanan Utsmaniyah dan
warga Yahudi di Palestina masih menjadi kaum minoritas kala itu.
Pemerintahan Inggris menyetujui pendirian Negara Yahudi di tanah
Palestina lewat sepucuk
surat tertanggal 2 November 1917, yang bernama Deklarasi Balfour dari Menteri
Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour, kepada Lord Rothschild, pemimpin komunitas
Yahudi Inggris, untuk diberitahukan kepada Federasi Zionis Britania Raya dan
Irlandia. Deklarasi Balfour disiarkan lewat media massa pada tanggal 9 November
1917. Deklarasi ini sekaligus mengawali pemerintahan militer di tanah
Palestina dengan Jendral Allenby yang ditugaskan Inggris untuk melindungi
eksodus penjajah Yahudi ke tanah Palestina.
Begini Bunyi Deklarasi Balfour,
Departemen Luar Negeri 2 November 1917
Lord Rothschild yang terhormat, Saya sangat senang dalam menyampaikan kepada Anda, atas nama Pemerintahan Sri Baginda, pernyataan simpati terhadap aspirasi Zionis Yahudi yang telah diajukan kepada dan disetujui oleh kabinet.
“Pemerintahan Sri Baginda memandang positif pendirian di Palestina tanah air untuk orang Yahudi, dan akan menggunakan usaha keras terbaik mereka untuk memudahkan tercapainya tujuan ini, karena jelas dipahami bahwa tidak ada suatupun yang boleh dilakukan yang dapat merugikan hak-hak penduduk dan keagamaan dari komunitas-komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina, ataupun hak-hak dan status politis yang dimiliki orang Yahudi di negara-negara lainnya”.
Saya sangat berterima kasih jika Anda dapat menyampaikan deklarasi ini untuk diketahui oleh Federasi Zionis.
Salam, Arthur James Balfour.
Comments
Post a Comment