Filsafat Islam
Ibnu Sina

https://www.cnnindonesia.com/teknologi/ibnu-sina-filsuf-muslim-jago-sains-hingga-guru-para-dokter
1. 1. Abu Ali Husain Ibnu Abdullah Ibn Sina (latin: Avicenna), lahir di kampung Afsyenah pada tahun 370 H/ 980 M, beliau kemudian dibawa hijrah ke Bukhara oleh keluarganya. Kemudian beliau menetap di Khuwarizm selama 10 tahun dari tahun 392 H/1001 M hingga 42 H/1011 M, lalu menetap di Jurjan kurang lebih selama 2-3 tahun dari tahun 402 H/1011 M hingga 405 H/1014 M. Kemudian untuk beberapa waktu beliau menetap di al-Rayy lalu di Hamadan kurang lebih 9 tahun dari tahun 406 H/1015 M hingga 415 H/1024 M. Di sini, beliau mengabdikan dirinya ‘Ala’ al-Dawlah, di Esfahan. Beliau meninggal di Hamadan pada tahun 428 H/1037 M.
2. 2. Secara umum kecenderungan filsafat Ibnu Sina tidak jauh berbeda dengan al-Farabi, keduanya berusaha untuk mengintegrasikan pandangan kefilsafatan dengan agama. Filsafat masing-masing juga merupakan integrasi antara filsafat Plato, Aristoteles dan Neoplatonisme. Beliau telah menggunakan teori akal dan emanasi yang sama dengan al-Farabi, seperti yang nampak dalam pernyataannya
: “Saya benar-benar telah memperkenalkan, bahwa Allah yang Maha Tinggi telah menciptakan akal pertama kemudian melaluinya (diciptakan) akal lain dan bintang, dan melalui akal lain (diciptakan) akal ketiga dan bintang ketiga berdasarkan urut-urutan seperti yang telah kami sebutkan.” (Ibn Sina, al-Syifa (Ilahiyyat), Kairo. 1968, hlm 327-328.
3. 3. Dalam menguraikan teori kosmologinya, beliau menggunakan argumentasi
emanasi yang sama seperti yang digunakan oleh al-Farabi sehingga beliau
berkesimpulan sama dengan pendahulunya mengenai kedahuluan alam. Pandangan
mengenai keabadian jiwa beliau, sebagaimana al-Farabi, nampaknya juga bersumber
dari teori emanasi ini. Menurutnya, setelah jiwa berpisah dengan jasad, ia
menjadi shurah (Inggris:form), kemudian akan teremanasi langsung oleh
pancaran Tuhan, sehingga dihadapannya terbuka apa saja yang sebelumnya tidak
Nampak.Ketika jiwa telah menjadi shurah, dia sama dengan akal murni (al-‘uqul
al-mujarradah), yaitu akal yang
merupakan permulaan sebab seluruh eksistensi, dimana seluruh hakikat bisa
diketahui olehnya. (Ibn Sina, al-Syifa, hlm 380., al-Farabi, al-Siyasah al-
Madaniyyah, hlm 47).
4. Hal yang senada juga diungkapkan oleh al-Farabi :
“Jika ia (jiwa) telah ditinggalkan oleh alat, maka tidak mungkin lahir darinya aktivitas pada yang lain (jasad), dimana ia (jiwa) abadi dalam eksistensinya, karena ia sama dengan substansi yang darinya tidak dapat memancarkan wujud kepada yang lain, tetapi ia terbatas sebagai wujud yang abadi berbentuk substansi yang eksistensinya tetap terjaga abadi.”
5. 4. Namun mengenai perihal kenabian Ibnu Sina agak berbeda dengan al-Farabi. Jabatan kenabian dalam pandangan al-Farabi nampak disepelekan seperti yang terlihat ketika menganggap risalah kenabian sebagai kesimpulan daya imajinasi yang teremanasi oleh pancaran Tuhan, sehingga rasionalitasnya tidak boleh dibuktikan, sedangkan filsafat sebagai kesimpulan daya intelek rasionalitasnya dapat dibuktikan. Sementara dalam pandangan Ibnu Sina, jabatan kenabian tersebut justru dikukuhkan yang dengannya risalah dari Tuhan akan tersampaikan : “
"Risalah, dengan demikian, adalah apa yang diterima dari proses emanasi yang disebut wahyu, dengan ungkapan apapun yang tepat, untuk memperbaiki dua alam yang abadi dan rusak dalam bentuk ilmu dan politik. Rasul adalah penyampai apa yang diadopsi dari proses emansi, yang disebut wahyu dengan ungkapan apapun yang tepat, supaya dengan pandangan-pandangan terjadi perbaikan alam indrawi melalui politik, dan alam intelek melalui ilmu…. Inilah secara singkat pandangan mengenai pengukuhan (jabatan) kenabian dan urgensinya, serta mengenai wahyu, malaikat dan orang yang diberi wahyu….. (Ibnu Sina, Risalah fi al-Kalam ‘an al-Nafs al-Nathiqah, hlm. 427).
6. 5. Mengenai gagasan tentang kedahuluan alam yang dinyatakan oleh Ibn Sina maupun al-Farabi adalah pandangan yang sama seperti yang dinyatakan Aristotes di atas. Bedanya, argumentasi Ibnu Sina dan al-Farabi dibangun dengan teori emanasi Plotinus, Neo-Platonisme, yang menyatakan bahwa wujud pertama merupakan sumber pancaran, yang dari sanalah semua cahaya bersinar dan semua wujud memancar. Pada waktu yang sama, Aristoteles, dalam bukunya: Physics, membangun pandangan tersebut dengan argumentasi keabadian gerak (eternal motion).
6. Ciri-ciri Aristotelian juga nampak dalam pembagian Ibn Sina mengenai hikmah (wisdom), yang diklasifikasikan menjadi dua: teoritis (pandangan saja) dan praktis (pandangan yang menuntut perbuatan)1. Sedangkan pandangan Platonisme, nampak dalam konsep keabadian jiwa, seperti yang diungkapkan oleh Plato dalam Phaedo.
8. 7. Ibnu Sina meninggal dunia dalam usia 58 tahun, pada hari Jumat pertama bulan Ramadhan tahun 428 H/1049 M dan dimakamkan di Hamadan.
Catatan Kaki
1 Aristoteles dalam bukunya, Nicomachean Ethics,
menyatakan, bahwa kebenaran (virtue) adakalanya berbentuk: kebenaran
intelek, atau beliau sebut dengan hikmah kefilsafatan dan kefahaman, dan
adakalanya berbentuk kebenaran moral, atau beliau sebut dengan hikmah praktis.
Comments
Post a Comment