Filsafat Islam

 

Al Kindi

https://www.cnnindonesia.com/teknologi/al-kindi-ilmuwan-dan-filsuf-penting-di-sejarah-islam

1.   1. Abu Yusuf Ya’qub Ibn Ishaq al-Kindi (180 H/801 M – 260 H/815 M), adalah seorang filsuf pertama di dunia Islam. Ia lahir di Kufah, Irak dari seorang wali Kufah, Ishaq bin al-Sabbah menjabat posisi ini di masa pemerintahan al-Mahdi (158-169 H/ 779-790 M) dan Harun al-Rasyid (165-188 H/786-809 M). Al- Kindi merupakan keturunan Arab dari bani Qahthan. Sebab posisi ayahnya yang kala itu menjabat sebagai pegawai pemerintahan, al-Kindi berprivilese untuk mengakses berbagai ilmu seperti matematika dan filsafat. Selain itu, ia pandai berbahasa Yunani.


2. 2. Beliau hidup pada era dimana paham mu’tazilah merebak di Baghdad. Pada waktu yang sama, ia mencoba mengkompromikan agama dengan filsafat. Namun, konsentrasi kajian al-Kindi bukan pada Islam itu sendiri, melainkan lebih kepada filsafat. Ini nampak dari 241 karyanya yang secara spesifik berkaitan dengan pembahasan keislaman kurang lebih hanya lima buku1. Selain itu, nampak dengan jelas dari pernyataan beliau :

“Jika seseorang tidak mendapatkan ilmu tentang kuantitas dan kualitas, maka dia tidak akan mempunyai ilmu tentang bahan-bahan utama dan kedua, dan karena itu tidak mungkin mengetahui ilmu-ilmu manusia yang dia peroleh melalui penelitian, usaha dan kerajinan. Ilmu-ilmu ini berada pada kedudukan yang lebih rendah dibanding ilmu ketuhanan (al-ilm al-ilahi) yang diperoleh secara simultan tanpa penelitian, usaha dan kerajinan. Contoh ilmu ini sama seperti ilmu para Nabi. Ilmu yang dikaruniakan oleh Tuhan; berbeda dengan matematika dan logika. Ilmu (al-‘ilm al-ilahi) ini diterima tanpa penelitian , usaha, kajian ataupun kerajinan, dan tidak memerlukan waktu." (Ehwani, al-Kindi di Dalam Sejarah Islam dari Segi Filsafat).
    3. Usaha al-Kindi dalam mengkompromikan agama dengan filsafat juga terlihat pada pendiriannya terhadap filsafat :
       “Perlu atau tidak (filsafat tetap perlu dikaji). Jika mereka mengatakan, bahwa ia (filsafat) tidak perlu, mereka juga harus mengemukakan  alasannya dan memberikan bukti-buktinya. Aktivitas memberi alasan dan bukti adalah bagian dari usaha  memperoleh pengetahuan mengenai hakikat sesuatu. Dengan begitu, berdasarkan pernyataan mereka, usaha memperolehnya adalah wajib. Bagi mereka, berpegang teguh kepadanya merupakan keperluan yang mendesak.”  (Al-Kindi, Rasa’il al-Kindi, hlm. 36)
4. Dalam argumentasinya yang lain, beliau juga menyatakan :
      “Semua pengetahuan adalah apa saja yang  ada manfaatnya, termasuk metode untuk meraihnya, serta apa saja yang menjauhkan diri dari segala yang membahayakan dan terhindar dari ancamannya. Semuanya inilah yang dibawa oleh para nabi yang jujur dari Tuhan. Nabi-nabi yang jujur –semoga shalawat Allah tetap atas mereka- hanya menyampaikan pengakuan terhadap ketuhanan Allah, serta kewajiban terikat kepada keagungan-keagungan yang diridhai di sisi-Nya, dan meninggalkan kehinaan-kehinaan yang kontradiksi dengan keagungan-keagungan tersebut, baik dalam aspek esensi maupun aksidensinya.” (Ibid, hlm. 35)
     4. Dengan demikian, al-Kindi telah mengokohkan kedudukan filsafat Yunani di negeri Islam melalui tulisan-tulisan kreatifnya. Maka tidak aneh jika filsafat al-Kindi juga mempunyai ciri-ciri integratif antara ide kefilsafatan Plato dan Aristoteles, meski pendirian al-Kindi yang kadang kala masih berpegang pada prinsip-prinsip ajaran Islam. Misalnya, sikap dirinya yang masih tetap mempertahankan konsep hudduts al-‘alam atau kebaruan alam :
       “Sesungguhnya alam ini muhdats (baru dan diciptakan) dari tidak ada -dalam sekali kejadian- dalam waktu yang berbeda, dan bukan dari sembarang bahan (al-maddah) melalui usaha kuasa mutlak yang kreatif (al-qudrah al-mubdi’ah al-muthlaqah) berdasarkan sebab aktif yang utama ‘illah fa’alah ula), yaitu Allah. Adanya alam kelangsungan dan tempo keberlangsungannya ini, semuanya bergantung pada kehendak ketuhanan yang aktif (al-iradah al-ilahiyah al-fa’illah) kepadanya, dimana ketika aktivitas kehendak (al-fi’l al-iradi) Allah tadi terhenti, maka alam ini akan terhenti secara serentak.”
6.5. Sekalipun begitu dalam kasus lain al-Kindi jelas-jelas mengambil pandangan Plato. Misalnya mengenai gagasan tentang keabadian jiwa, beliau menyatakan :
“Sesungguhnya jiwa dalam pandangan Plato dan kebanyakan filsuf adalah abadi setelah mati, yang substansinya sama dengan substansi Allah Yang Maha Agung dan Tinggi dalam kekuasaan-Nya. Jika ia terpisah (dari jasad), ia akan mengetahui segala sesuatu sebagaimana Allah mengetahuinya, atau berada pada tingkat yang lebih rendah dari itu. Sebab, ia merupakan emanasi sinar Allah Yang Maha Agung dan Tinggi.”.

 

Pandangan ini jelas bertentangan dengan konsep Islam, ketika segala sesuatu selain Allah dalam perspektif Islam akan musnah dan tidak abadi :
 كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُۥ, “tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah”.
      
    6. Pandangan Aristoteles dalam filsafat al-Kindi juga nampak antara lain dalam risalahnya , al-Shina’ah al-Uzhma), disebutkan :
“Tuhan, segala puji bagi-Nya, adalah sumber dan daya bagi gerakan ini. Karena dia abadi, maka dia tidak digerakkan (ghayr mutaharrik), tetapi menyebabkan gerak tanpa menggerakkan Diri-Nya. Inilah uraian-Nya bagi mereka yang memahami-Nya dengan kata-kata yang mudah.”

 

Pandangan ini seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles dalam bukunya On Generation and Corruption, antara lain, mengatakan :
“hence (as we have said) some of the active powers are unaffected while others are such as to be affected; and what holds of motion is true also of the active powers. For as in motion “the first mover” is unmoved, so among the active powers “the first agent” is unaffected.”
[Dengan demikian, (sebagaimana yang telah kami katakana), beberapa daya aktif adalah tidak dipengaruhi, sedangkan yang lainnya cenderung dipengaruhi; dan apa yang berlaku pada gerakan berlaku pula pada daya-daya aktif. Karena sebagaimana dalam gerakan, Penggerak Pertama tidak digerakkan, maka demikian pula daya-daya aktif, Sebab Pertama itu tidak dipengaruhi.]

8. 7. Al-Kindi wafat kira-kira tahun 260 H atau 873 M, 2 tahun setelah kelahiran Abu Nashr Muhammad al-Farabi pada tahun 258 H atau 871 M.  



Catatan Kaki

1 Lima buku al Kindi : Kitab al-Istitha’ah wa Zaman Kauniha, Kitab Iftiraq al-Milal fi al-Tawhid, Kitab fi Anna Af’al al-Bari Jalla Ismuhu Kulluha ‘Adl La Jur, Risalah fi al-Tawhid bi al-Tafsirat, Risalah fi al-Radd ‘ala al-Mananiyyah, Risalah fi al-Radd ‘ala al-Tsanawiyyah, Kitab Tatsbit al-Rusul ‘Alayhim al-Salam.

 












Comments

Popular posts from this blog

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar part II

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar part III (akhir)