Filsafat Islam

 

Ibn Rusyd

https://id.m.wikipedia.org/




1.     1. Setelah itu, lahir Abu al-Walid Muhammad Ibn Rusyd (Latin: Averroes) pada tahun 520 H/1137 M, atau 15 tahun setelah wafatnya Al Ghazali tokoh yang kemudian dibantahnya dalam Tahafut al- Tahafut. Lahir di Cordoba dengan nama Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd yang bergelar, Abu al-Walid dan nama panggilannya al-Hafid. Beliau adalah seorang filsuf dan ahli fiqih bermazhab Maliki. Ibn Thufayl-lah yang sebenarnya berjasa kepadanya dalam memperkenalkannya kepada penguasa Muwahidun, Yusuf. Atas permintaan Yusuf, Ibn Rusyd kemudian melakukan penafsiran karya-karya Aristoteles. Setelah kematiannya, hubungan Ibn Rusyd dengan anaknya, Abu Ya’qub bin Yusuf semakin erat.

2.   2. Dibanding al-Farabi dan Ibnu Sina, Ibnu Rusyd lebih memilih sebagai komentator dan penafsir pemikiran filsafat orang lain khususnya Aristoteles. Sehingga agak sulit untuk menemukan pemikiran orisinal filsafat Ibn Rusyd, selain dalam buku Tahafut al-Tahafut-nya yang ditulis untuk membantah pandangan al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah.

3.    3. Disamping buku ini, beliau juga menulis buku1 yang bertujuan untuk mengkompromikan agama dengan filsafat dan secara mati-matian berusaha mempertahankan kedudukan filsafat dan hubungannya dengan syariat. Ini misalnya nampak dalam pernyataannya:

“Dari sini nampak dengan jelas, bahwa mengkaji buku-buku orang dahulu (filsafat) menurut syara’ adalah wajib. Karena sasaran dan maksud mereka adalah maksud yang didorong oleh syara’ kepada kita. Siapa saja yang melarang orang yang berkemampuan untuk mengkajinya agar melakukan kajian terhadapnya, sedangkan dia telah mempunyai dua hal; pertama, fitrah kecerdasan; kedua, keadilan syara’ dan ketinggian akhlak, maka dia telah menghalangi khalayak ramai dari pintu yang telah diserukan oleh syara’ kepada mereka untuk mengenal Allah, yaitu pintu kajian yang menyebabkan mengenali-Nya dengan sesungguhnya. Ini sangat bodoh, dan jauh dari Allah”. (Ibn Rusyd, Fashl al-Maqal, hlm 33).

4.   4. Bahkan usaha Ibn Rusyd tidak hanya sampai di sini. Beliau telah lebih jauh mengkompromikan nash-nash syara’ dengan filsafat, dengan cara menakwilkn makna eksplisit (zhahir) kepada makna implisit (bathin). Menurutnya, kebenaran agama tidak akan kontradiksi dengan virtue (kebenaran filsafat), sebaliknya agama akan sepakat dengannya dan filsafat akan membuktikan kebenarannya. Karena itu apabila terjadi kontradiksi pasti tidak akan terlepas dari dua kemungkinanp; Pertama, ada kemungkinan syara’ telah mendiamkannya. Dengan demikian, berarti tidak ada kontradiksi apapun di dalamnya; Kedua, ada kemungkinan secara lahiriah apa yang dinyatakan nash syara’ kontradisi dengan apa yang dinyatakan oleh kajian rasional, yang demikian itulah kemungkinan lahiriah tersebut wajib ditakwilkan.  

5.  5. Cara inilah yang kemudian digunakan oleh Ibn Rusyd untuk menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an mengenai penciptaan langit dan bumi, serta kondisi langit yang digambarkan dengan kabut, yang secara lahiriah menyatakan langit diciptakan dari sesuatu. Kemudian semuanya tadi ditakwilkan, bahwa di dalam syara’ tidak ada keterangan yang menyatakan, bahwa Allah dengan ketiadaan sesuatu yang lain.

6.  6. Menurutnya, kenyataan ini sama sekali tidak pernah ada dalam nash syara’. Ibn Rusyd, bisa berpandangan seperti ini seperti halnya Aristoteles, karena telah meyakini kedahuluan alam:

“Adapun bagian wujud yang terdapat di antara dua pihak (yang baru dan dahulu), ia ada bukan dari sesuatu, dan tidak didahului oleh waktu, tetapi dari sesuatu. Maksud saya adalah dari Pelaku. Inilah (konsep kosmologi) alam secara keseluruhan.” 1

7.   7. Dalam bantahannya kepada Al Ghazali yang menyanggah pandangan mengenai ilmu Allah yang dikatakan hanya mengetahui secara global tanpa disertai bagian-bagiannya (al-kulliyyat duna al-juz’iyyat). Ibn Rusyd berargumentasi, bahwa Allah diklaim hanya mengetahui secara global tanpa disertai bagian-bagiannya, karena ilmu secara global adalah akal, sedangkan ilmu mengenai bagian-bagian merupakan penginderaan dan imajinasi. Kesimpulan ini tampaknya dibangun dari proposisi yang menyatakan, bahwa Allah adalah akal, dimana akal adalah Zat-Nya yang diketahui oleh-Nya, sehingga Dia adalah akal, yang mengetahui (al-aqil) dan yang diketahui (al-ma’qul), seperti yang dinyatakan oleh al-Farabi dan Ibnu Sina. Dengan argumentasi di atas, Ibnu Rusyd mempertahankan pendirian Ibnu Sina yang dibantah oleh Al Ghazali, bahwa ilmu Allah hanya mengetahui secara umum tanpa disertai bagian-bagiannya.

8.  8. Selain itu, Ibn Rusyd juga membantah bantahan Al Ghazali mengenai ma’ad (hari kembali akhirat), yang menurutnya bahwa filsuf yang boleh dikafirkan adalah filsuf yang mengingkari eksistensi ma’ad bukan sifatnya, baik berbentuk fisik ataupun tidak. Menurutnya, jika eksistensinya tetap diakui dan diyakini, sedangkan sifatnya ditakwilkan baginya tidak ada masalah. Sebab, eksistensinya masih diyakini. Dengan demikian Ibn Rusyd tetap mempertahankan pandangan filsuf sebelumnya, bahwa yang mendapatkan azab dan nikmat di Hari Akhirat adalah jiwa manusia, bukan jasadnya. Padahal pandangan ini jelas bertentangan dengan nash yang qath’I:

“Dan ia pula lupakan keadaan Kami menciptakannya sambil ia bertanya: “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-tulang yang telah hancur seperti debu?” Katakanlah (Muhammad): “Tulang-tulang yang hancur itu akan dihidupkan oleh Tuhan yang telah menciptakannya pada awal mula wujudnya; dan Ia Maha Mengetahui akan segala keadaan makhluk-makhluk (yang diciptakan-Nya)”. (Q.S. Yasin [36]:78). 
Ayat ini jelas membuktikan kebangkitan manusia kelak di akhirat secara fisik, bukan hanya jiwanya saja.

9.   9. Inilah secara umum pandangan Ibn Rusyd. Beliau meninggal dunia tahun 600 H/1217 M dan dikenang oleh generasi setelahnya sebagai komentator agung filsafat Yunani, khususnya karya Aristoteles. Di Barat beliau lebih harum lagi dikenal sebagai Averroes.

 

Catatan Kaki

1 Pandangan Aristoteles dibangun berdasarkan prinsip eternal motion, dimana gerak melingkar (moved in a circle) merupakan sebab pembentukan dan kehancuran (generation and corruption) yang berlangsung secara abadi.


Comments

Popular posts from this blog

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar part II

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar part III (akhir)