Contoh Esai Lomba
Perempuan Korban Tindak Aniaya, Kategorisasi Femisida Solusinya?
Penulis: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.
Gregorius Ronald Tannur (31) dengan keji menganiaya kekasihnya, Dini Sera Afrianti (28), hingga menyebabkan korban kehilangan nyawa. Penganiayaan terjadi di tempat karaoke Blackhole KTV Surabaya pada Rabu (4-10-2023) malam. Diketahui, Ronald merupakan anak dari salah satu anggota fraksi partai di DPR RI.
Atas kejahatannya itu, Ronald dijerat dengan pasal berlapis berdasarkan fakta kejadian dan alat bukti. Pasal yang dikenakan terhadap tersangka ialah Pasal 351 ayat 3 dan Pasal 359 KUHP dan terancam hukuman penjara maksimal 12 tahun. (Tirto, 11-10-2023).
Bukan yang Pertama
Kasus penganiayaan sadis berujung pembunuhan terhadap perempuan oleh pasangan intim (kekasih/suami) sebagaimana kasus Ronald, bukanlah yang pertama terjadi. Belakangan ini bahkan banyak berita perihal kasus serupa.
Sebut saja aksi nekat MR (43) pada awal Januari 2023 yang membakar mantan istrinya, DW (38) dan SB (39), menggunakan bensin. Kasus ini terjadi di Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Juga tindakan keji Riko Arizka (23) pada Februari 2023 yang tega menghabisi nyawa mantan kekasihnya dengan cara dihantam menggunakan kloset. Kejadian ini terjadi di Pandeglang, Banten. Demikian pula kasus pembunuhan keji yang dilakukan Nando (24), suami yang membunuh istrinya, Mega Sriyani Dewi (24) di Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi (7-9-2023).
Rentetan kasus keji yang mengakibatkan nyawa korban perempuan melayang di atas hanya sedikit contoh dari banyaknya kasus yang tidak terekspos media. Terkait hal ini, perilaku keji yang dilakukan Ronald kepada korban disebut sebagai bentuk femisida. Femisida sendiri adalah pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara sengaja karena jenis kelamin atau gendernya.
Menurut pantauan di media oleh Komnas Perempuan sejak September 2020 hingga pertengahan Agustus 2021, selama 2016—2020 telah terjadi 421 kasus femisida yang terekspos media. Dari angka tersebut (421 kasus), 25 kasus di antaranya (5,94%) terjadi pada 2016 dan 34 kasus (8,08%) terjadi pada 2017. Pada 2018 terjadi kenaikan jumlah kasus hampir tiga kali lipat dibandingkan 2017. Pada 2019, kasus femisida di Indonesia tercatat sebanyak 167 kasus (39,67%), dan pada 2020, sebanyak 95 kasus (22,57%). Pada 2022 bahkan dilaporkan terjadi 3.950 kasus, naik lebih dari dua kali lipat dibandingkan 2021.
(Pemaparan Fakta dan Masalah)
Berbeda dengan Pembunuhan Biasa?
Ketua Komnas Perempuan Andi Yentriyani menyebut bahwa femisida atau pembunuhan terhadap perempuan adalah bentuk paling ekstrem dari kekerasan terhadap perempuan. Namun ternyata, femisida diklaim berbeda dengan pembunuhan biasa. Perbedaan femisida dengan pembunuhan lain adalah adanya latar belakang relasi kuasa yang mendorong dibunuhnya perempuan akibat identitas gendernya. Sebabnya, pada banyak kasus tampak kepuasan sadistis pihak pelaku terhadap korban. Juga adanya ketimpangan relasi kuasa, agresi, serta rasa superioritas terhadap perempuan.
Selain itu, terminologi “femisida” belum banyak dikenal di Indonesia. Akibatnya, data terpilah antara pembunuhan umum dan femisida belum tersedia sehingga penanganannya juga minim. Sedangkan hal tersebut penting untuk mencegah potensi kekerasan yang berpotensi berujung pada femisida, misalnya KDRT yang berujung pada pembunuhan.
Berdasarkan hal ini, tidak heran kategorisasi femisida diklaim perlu untuk lebih ditegaskan lagi. Benarkah ini bisa jadi solusi?
Pembenaran Superioritas
Penegasan kategorisasi femisida dianggap dapat membantu menguatkan tuntutan hukum kepada pelaku kasus penganiayaan yang berujung pembunuhan pada perempuan. Akan tetapi, sejatinya harus kita ingat bahwa karakter sistem hukum saat ini tidak bisa dilepaskan dari payung besarnya.
Kita tentu sadar bahwa sistem hukum saat ini cenderung memenangkan yang kuat dan menindas yang lemah. Apalagi dengan latar belakang superioritas sebagai pembenarannya. Alhasil, kategorisasi femisida hanya ibarat semut di hadapan hukum rimba.
Kita juga tidak bisa menampik bahwa permasalahan terkait relasi perempuan dan laki-laki dalam lingkup keluarga saat ini berlatar belakang adanya konstruksi sosiokultural di sebagian masyarakat yang patriarkat—sehingga seolah melegalkan segala bentuk superioritas dan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Akibatnya, lahirlah dominansi dan superioritas laki-laki terhadap perempuan yang kemudian menjadikan mereka merasa posisinya lebih tinggi dan menjadi penentu semua kebijakan domestik.
Masalahnya, dalil pembenaran konsep ini dicari-cari dari Al-Qur’an dalam bentuk reinterpretasi oleh sejumlah intelektual muslim kontemporer. Tujuannya agar ayat tersebut tampak lebih adil terhadap perbedaan gender, khususnya perempuan. Ayat yang dimaksud adalah QS An-Nisa ayat 34 perihal kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan.
Hanya saja, upaya seperti ini justru makin menjauhkan makna hakiki ayat tersebut. Terlebih jika relasi antara laki-laki dan perempuan itu bukan pernikahan (baca: berpacaran), pihak laki-laki biasanya merasa lebih bebas untuk berbuat sadis kepada pasangannya karena ia merasa tidak ada tanggung jawab terhadap relasi tersebut secara hukum syariat.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa kategorisasi femisida terhadap kasus penganiayaan dan pembunuhan oleh laki-laki kepada perempuan pasangannya ternyata tidak bisa menyolusi permasalahan ini dari akarnya.
(Analisis Fakta dan Masalah)
Perempuan Terlindungi dalam Islam
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, makna kalimat “ar-rijaalu qawaamuuna ‘ala an-nisaa” dalam QS An-Nisa ayat 34 tersebut, bahwasanya kaum laki-laki adalah pengurus bagi kaum perempuan, yakni sebagai pemimpinnya, kepalanya, yang menguasai, dan yang mendidiknya jika menyimpang.
Selain itu, kita juga tidak boleh lupa bahwa Allah Taala berfirman, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (QS Al-Hujurat [49]: 13). Ayat ini tidak memberikan keistimewaan kepada jenis kelamin tertentu untuk menjadi orang yang paling mulia di sisi Allah. Artinya, baik laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk meraih posisi mulia di sisi Allah tersebut.
Jadi jelas, dari kedua ayat tersebut, tidak menunjukkan bahwa superioritas laki-laki atas perempuan adalah alasan pembenaran untuk bisa menganiaya bahkan sampai menghilangkan nyawa kaum perempuan yang menjadi korbannya. Di sisi Allah, yang membedakan laki-laki dan perempuan adalah ketakwaannya, bukan aspek selainnya.
(Solusi terhadap Masalah)
Comments
Post a Comment