Filsafat dan Kemunduran Peradaban Islam

 Islam Mundur Akibat Filsafat, Emang Boleee?

dari Gugel ...

    Apabila pertanyaan ini disuguhkan kepada penulis untuk dijawab langsung, maka jawabannya pastilah benar jika dikatakan bahwa Islam mundur akibat praktik filsafatnya. Namun, yang perlu diingat adalah bukan menjadi prima causa dan satu-satunya penyebab utama peradaban Islam mengalami kemunduran. Kemunduran dunia Islam disebabkan oleh banyak faktor, dan filsafat menjadi salah satu faktor sekundernya.

    Jika kita melihat potret situasi pada era filsafat mulai masuk dalam kekhalifahan lewat banyak redaksi sejarah yang ditulis oleh para sejarawan Islam maupun Barat. Ditemukan suatu kondisi dimana umat Islam mulai terpecah menjadi beberapa kubu, ada mu’tazilah, jabariyah, batiniyah, jahmiyah, qadariyah, murji’ah, dan kelompok ahli hadits. Namun, secara garis besar kubu tersebut terpecah menjadi dua kelompok utama yakni kelompok yang fanatik terhadap ayat-ayat agama dan kelompok yang berusaha mengkritisi teks-teks keagamaan. Kalau kita lihat, Islam dari sejak kemunculannya merupakan empire of faith (kekuasaan di atas keimanan), dimana dogma agama menjadi sebuah titah kebijakan-kebijakan negara. Itulah prinsip yang selalu umat Islam anut, dan sudah terbukti akan keshahihannya memberikan keadilan dan kesejahteraan.

    Namun, semua seolah hampir rubuh satu per satu saat Islam melakukan banyak penaklukan, dan melakukan interaksi kebudayaan sebagai sesuatu yang alami. Pertemuan Islam pada filsafat Yunani menghasilkan ilmu kalam, sementara pertemuannya dengan filsafat Persia menghasilkan tashawuf. Akibat tersentuh filsafat Yunani, mereka mulai mempertanyakan hal-hal abstrak, seperti apa itu Tuhan, apa makna hidup manusia, apa itu sebuah kebenaran, apa itu keburukan, apa itu kebahagiaan, moralitas seperti apa yang manusia butuhkan, bagaimana alam semesta itu diciptakan. Padahal, Islam meminta agar umat Islam mau menyerahkan dengan ikhlas hal-hal abstrak dan metafisik yang berkenaan dengan Tuhan, makna hidup sebagai manusia, standard kebenaran, standard moralitas manusia, kebahagiaan, keburukan, dan penciptaan alam semesta agar semuanya dipandu oleh wahyu. Sebab, jika standard kebenaran dikembalikan penilaiannya kepada manusia, maka sifatnya menjadi relatif. Contoh, jika ditanyakan apakah perbuatan membunuh adalah suatu kejahatan ???, pastinya akan ada yang menjawab bahwa membunuh adalah kejahatan, tetapi ada pula yang mengatakan itu bukan kejahatan jika yang dibunuh adalah musuh. Contoh lain, apakah harta menentukan kebahagiaan ??? Bisa iya dan bisa tidak, ada yang mengatakan bahwa menjalani hidup miskin bisa membawa ketenangan, tapi ada juga yang mengatakan jika hidup kaya bisa membawa manfaat bagi sesama.

    Yups, dalam filsafat kita diajarkan untuk berpikir dan mencari makna akan segala sesuatu yang berkenaan dengan manusia, kehidupan dan alam semesta. Pun, jangan pernah lupakan asal muasal filsafat tercipta karena para filsuf melihat suatu hal yang tidak beres dalam norma dan tradisi yang ada di masyarakat kala itu. Tradisi Yunani yang beredar di masyarakat sangat bertentangan dengan akal sehat. Perlu diingat bahwasannya sebelum Socrates menjadi seorang filsuf yang masyhur, ia merupakan seorang prajurit Athena (hoplite), namun ia terpaksa berhenti dari statusnya sebagai prajurit sebab ia merasakan ada hal yang bertentangan dengan akal sehat dan hati nuraninya, mengapa manusia harus membunuh jika ia bisa menyayangi ?, pikirnya.

        David Hume dalam bukunya Dialogues Concerning Natural Religion (1779) mengutip argumen Epikurus dalam bentuk sederet pertanyaan: "Apakah [Tuhan] berniat mencegah kejahatan, tetapi tidak dapat? maka apakah ia tak berdaya. Apakah ia dapat, tetapi tidak berniat? Maka apakah ia berhati dengki. Apakah ia dapat dan berniat? maka darimanakah kejahatan?".

        Ya, sekali lagi filsafat berusaha menentukan standard ketuhanan, standard kebahagiaan, standard kebenaran dan keburukan, bahkan standard moralitas yang harus dianut oleh manusia berdasarkan daya pikir akal mereka. Sehingga, sampailah pada sebuah kesimpulan yang mengatakan bahwa kebenaran absolut hanya milik Tuhan, sementara kita tentu tidak dapat meraihnya. Namun, manusia bisa menentukan kebenaran di dunia ini dengan bantuan rasionya dan hukum alam (science), manusia bisa menentukan kehendaknya sendiri (free will) di dunia ini. Sementara Tuhan adalah konsep sempurna yang tidak bisa diraba oleh akal manusia, oleh karenanya semua yang ada di alam ini merupakan imitasi dari konsep paling sempurna. Ujung dari filsafat adalah, kebenaran absolut hanya milik Tuhan, sementara kebenaran di bumi adalah relatif karena hasil imitasi dari sang Pencipta. Tuhan itu infinite, manusia dan alam semesta adalah finite. Alhasil, filsafat menolak ide Tuhan sebagai Pengatur seluruh alam semesta, manusia, dan kehidupan.

        Filsafat tidak anti Tuhan, tetapi anti aturan Tuhan, sebab menurutnya untuk apa manusia diberikan akal kalau yang mengatur semuanya adalah Tuhan. Terlebih, para filsuf juga sudah mengindra banyak kalangan beragama yang justru akal sehatnya mati, membunuh manusia bahkan mengorbankan anaknya sendiri kepada dewa, berperang atas nama dewa, dll. Para filsuf berpikir tentunya bukan Tuhan yang jahat, hanya saja perintah Tuhan yang diinterpretasikan oleh para agamawan ini sering keliru, sebab sebagai manusia yang finite, tidak mungkin bisa menerka apa maunya Tuhan yang infinite. Para filsuf sepakat bahwa semua yang terjadi di dunia ini ada karena sebab-akibat. Oleh karenanya, Tuhan tidak pernah ikut campur dalam hal pengurusan alam semesta, Tuhan hanya berfungsi sebagai pencipta dan penghancur saja.  

    Filsafat inilah yang diilhami oleh Barat sebagai cikal bakal Renaissance, yang ditandai dengan pemisahan ruang agama yang diatur wahyu dan ruang public yang diatur oleh akal manusia. Pada era ini, integrasi wahyu dengan akal juga mulai dilakukan oleh Thomas Aquinas, dimana Ia mengikuti saran Ibn Rusyd bahwa jika ada perintah Tuhan yang tertulis dalam wahyu dan bertentangan dengan akal sehat, maka harus dicari takwilnya (diinterpretasikan agar masuk akal). Menurut Ibn Rusyd, kebenaran agama tidak akan kontradiksi dengan virtue (kebenaran filsafat), sebaliknya agama akan sepakat dengannya dan filsafat akan membuktikan kebenarannya. Namun, setalah itu lahirlah era Aufklarung yang menandai pemisahan betul-betul manusia dari dominasi agama. Aufklarung ditandai dengan kemunculan serangkaian gagasan yang berfokus pada nilai kebahagiaan manusia, pencarian pengetahuan yang diperoleh melalui penalaran akal dan observasi dengan panca indra, dan cita-cita ideal seperti kebebasan, kemajuan, toleransi, persaudaraan, pemerintahan konstitusional, dan pemisahan gereja dengan negara. Pemisahan kehidupan dengan agama saat itu dipelopori oleh semangat Renaissance lewat pernyataan terkenal nan melegenda, cogito ergo sum (I think, therefore I exist). Itulah pernyataan sakral mereka saat mengawini sekularisasi.

    Sementara, akibat tersentuh filsafat Persia, lahir praktik-praktik tasawuf. Bermula saat penerjemahan Hikayat Kalilah wa Dimnah, karya sastra bahasa Sanskerta yang sebelumnya bernama Pañcatantra dan berasal dari India, karya ini berbicara tentang moralitas dan etika. Kalilah wa Dimna, awal mulanya diterjemahkan ke Bahasa Persia oleh Buzurjumhur dan Barzawaih, salah satu pegawai tinggi Kekaisaran Persia di zamannya. Ia diperintah raja Persia untuk pergi ke India seraya mencari buku ini yang dikatakan bahwa buku ini bergudang ilmu pengetahuan dan moral. Maka pergilah dia dan bertemu dengan bendahara negeri India. Setelah berhasil berdiskusi, buku ini dibawalah ke Persia untuk diterjemahkan. Pada perkembangan selanjutnya, buku ini kemudian diterjemahkan ke bahasa Suryani terlebih dahulu. Adapun penerjemahan ke bahasa Arab, dimulai oleh Abdullah bin al-Muqaffa, seorang penerjemah Zoroaster yang memeluk Islam, namun akhirnya dibunuh karena dianggap zindiq. Dari sanalah muncul paham akan pentingnya kebersihan jiwa dan nasehat untuk membunuh hawa nafsu yang berupa kenikmatan dunia.

        Hingga sampailah tasawuf tersebut pada ajaran wahdatul wujud yang dipopulerkan oleh Ibnu Arabi. Ajaran ini memandang alam semesta sebagai penampakan lahir Allah dalam arti bahwa wujud yang sebenarnya hanya Allah saja -alam semesta ini hanya bayangan- bayang-Nya yang sifatnya fana. Ajaran ini mirip sekali dengan ajaran filsafat neo platonisme (konsep emanasi) dan doktrin Kristen dalam Genesis 1:27: “So God created man in his own image, in the image of God he created him; male and female he created them.” Tidaklah heran, sebab Ibn Arabi  hidup di Andalusia yang saat itu memiliki penduduk Katolik yang taat (bekas kerajaan Nasrani) dan beberapa Yahudi etnis Sephardi yang juga hidup di sana. Fakta sejarah juga mengatakan bahwa dari sanalah pintu pertama bangsa Eropa menimba ilmu dari bangsa Arab.

        Berdasarkan ajaran tersebut, muncul pula ajaran panteisme yang diilhami dari Yahudi etnis Sephardi, Baruch Spinoza dalam bukunya tentang etika. Panteisme menyatakan Tuhan itu ada dimana-mana, di semua ciptaan-Nya dan segala sesuatu-Nya, bahkan ada pula dalam diri manusia yang sifatnya imanen, yang berarti ada di dalam batin dan senantiasa menyertai manusia, peran Tuhan ada dimana-mana. Imanen adalah lawan dari kata transenden yang menganggap bahwa Tuhan tidak bisa digapai dan di luar akal manusia. Dalam tasawuf kita diajarkan bagaimana sebaiknya bersikap terhadap manusia, alam, takdir dan kehidupan. Ilmu tasawuf mengajarkan banyak tentang etika hidup di bumi, agar selalu ikhlas, memaafkan, dan tidak tamak.

    Selain itu, ada doktrin filsafat yang mengatakan bahwa manusia yang melepaskan segala bentuk duniawinya bisa menyatu dengan Tuhan setelah melewati beberapa tahapan (maqam), manusia bisa melihat dan melebur bersama Tuhan secara batin. Sudah tentu pemikiran ini salah, sebab setaat apapun seorang manusia ia tidak pernah bisa menyatu dengan Tuhan meskipun mereka mengatakan hanya penyatuan batin bukan penyatuan fisik. Alhasil, muncul aktivitas asketis berupa mengasingkan diri dari kehidupan dunia, menarik diri dari masyarakat, bahkan sampai tidak mau menikah karena menganggap bahwa mencintai Tuhan berarti mencintai ciptaan-Nya. Aktivitas yang demikian bukan berasal dari Islam, melainkan dari kebudayaan Hindu dan Buddha yang sering melakukan pengasingan dan penyucian jiwa, kemudian kebudayaan Nasrani yang menganggap sebuah pernikahan akan menodai kesucian untuk bisa melayani Tuhan.

        Islam adalah agama yang memadukan akal dan mistisme, hablumminallah dan hablumminannas. Seorang muslim diperkenankan untuk memburu akhirat namun jangan lupa akan dunia, sebab perkara dunia menjadi perantara memperoleh amal untuk akhirat, sehingga jangan antipati terhadap dunia, jika dunia diliputi kedzaliman maka amar ma’ruf wa nahi munkar agar dunia menjadi ideal kembali. Islam adalah rahmat bagi semesta alam dan kita diciptakan sebagai pengatur (khalifah) di muka bumi ini. Begitupun jika seorang muslim ingin memburu dunia, maka diperkenankan asal jangan lalai terhadap akhirat, karena bagaimanapun juga akhirat adalah tujuan akhir dan tempat kembali. Maka, boleh bagi seorang muslim untuk memilih di antara keduanya, asalkan jangan memilih salah satunya, mendominasikan, dan menamakan pilihannya sebagai suatu ajaran yang baru. Misalnya, memilih mengejar akhirat, kemudian mendominasikan pilihannya, dan menamakan pilihannya sebagai aliran tasawuf atau tarekat. Denominasi inilah yang tidak diharapkan, meski memang ajaran dari aliran ini bersumber dari Islam, namun saat ia tersebar dan disebarkan maka rentan terjadinya perpecahan.

        Tasawuf muncul saat era Umayyah dan Abbasiyyah mulai bergejolak, para penguasa yang cinta dunia dan hobinya hura-hura mulai merajalela, banyak kedzaliman dan ketidakadilan yang dinisbatkan kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga, masyarakat memilih untuk melakukan gerakan pemurnian lewat aktivitas pengasingan diri dari kehidupan, yakni tasawuf.

        Aliran kalam muncul saat para penguasa menisbatkan kedzaliman karena tuntutan syariat, misalnya saat peristiwa terbunuhnya Abdullah bin Zubair atau Hussain di Karbala. Sehingga, mereka cenderung gusar setelah mengetahui ayat-ayat Al-Qur’an tidak berjalan sesuai fitrah kemanusiaan, maka mereka mulai mencari kebenaran lewak akal pikiran, keadaan ini persis seperti era Yunani dan Eropa era Dark Ages. Sementara aliran tasawuf muncul, saat para penguasa mulai menginterpretasikan wahyu berdasarkan hawa nafsu mereka (keinginan mereka), banyak yang akhirnya mencari-cari pembenaran perbuatan lalim mereka dalam Al-Qur’an yang mereka takwil sesuka hati. Mereka (para sufi) lebih memilih akhirat dan membersihkan jiwa mereka, dan mulai menjauhi kekuasaan.

        Namun, penyebab pertama adalah masuknya pemikiran filsafat dalam tubuh umat Islam. Para filsuf Islam mulai mencari kebenaran lewat akal pikiran, meski mereka juga mengambil dalil sebagai argument. Namun, untuk perkara yang metafisik dalam Islam (seperti siksa kubur) mereka juga menggunakan akal, supaya mudah dicerna mereka mulai menakwilkannya. Akibatnya, banyak yang mengingkari bahwa kita akan dihidupkan kembali di akhirat. Mereka lebih mempercayai keabadian jiwa yang dirumuskan oleh Plato. Alhasil, tak sedikit yang tidak mempercayai adanya hari kebangkitan yang dituliskan Al-Qur’an. Terlebih, mereka menganggap Al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah. Mereka menolak bahwa Al-Qur’a adalah firman Allah, sebab menurutnya mana mungkin Allah bisa berbicara padahal dia adalah Tuhan sementara berbicara adalah pekerjaan yang biasa dilakukan oleh makhluk.

        Dari sinilah mulai kebenaran Al-Qur’an disepelekan, mereka menganggap Al-Qur’an yang benar 100% hanya ada di lauhul mahfuz, sementara yang di bumi sudah tidak suci lagi. Sehingga menerapkan Al-Qur’an tidak lagi sebuah keharusan. Maka, apa yang diriwayatkan oleh Imam Adz-Dzahabi, Iman Suyuthi, dan Ibnu Katsir bahwa di era Abbasiyyah mereka mulai mengganti hukum rajam dengan hukuman lain. Plus, saat itu mereka meyakini bahwa sang Khalifah tidak akan dimintai pertanggungjawaban, dan sang Khalifah adalah ma’sum (terbebas dari dosa), inilah yang menyebabkan mereka (para Khalifah itu) bisa berlaku semena-mena sebab kepercayaan yang diyakini olehnya.

        Belum lagi ulama-ulama terpecah menjadi dua, yakni yang mendukung rezim dengan fatwanya dan ulama yang membenci rezim. Nah, dari sinilah para ulama yang membenci rezim mulai memilih mengasingkan diri dan menyelamatkan aqidah mereka, sehingga mereka mulai antipati terhadap politik. Gelombang ulama yang mulai mengasingkan diri tersebut dinamakan oleh masyarakat sekitar sebagai tasawuf, dikarenakan terlalu menggejala dan nampak daripadanya hal yang signifikan. Sehingga mereka melupakan kewajibannya untuk mengingatkan penguasa dan tidak ber-amar ma’ruf nahi munkar terhadap penguasa.  Lain sisi dominasi Syiah yang meringsek masuk pada kekhalifahan Abbasiyyah. Sementara, Syiah merupakan sekte pertama dalam Islam yang menerima dengan tangan terbuka kebudayaan Yunani dan Persia. Itulah sebab-sebab kemunduran Peradaban Islam yang sangat megah. 

        Gemilangnya peradaban Islam bukan karena filsafat, sebab para Ilmuwan Islam mendapatkan inspirasi bukan berasal dari filsafat melainkan dari Al-Qur’an.  Sebut saja Jabir Ibn Hayyan, sang Bapak Kimia ini justru belajar dari Imam Ja’far Shadiq yang sangat wara’. Kemudian ada lagi Al-Jazari yang menciptakan hidrolik, ia terinspirasi dari Al-Qur’an surah al-Anbiya ayat 30, “dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air; maka mengapa mereka tidak beriman?” . Sama halnya, Ibnu Sina yang lebih dahulu menulis Qanun fii al-Thib, dibanding karya filsafatnya yang muncul terakhir. Filsafat berbeda dengan science. Filsafat berasal dari kata philo = cinta dan sophia = kebijaksanaan. Filsafat merupakan jalan mencari kebenaran atau cara untuk mencari kebijaksanaan, filsafat berusaha memecahkan pertanyaan tentang kehidupan, seperti dari mana, untuk apa, dan mau kemana kita ini ??, dll. Jadi keterkaitan filsafat secara langsung terhadap science sebenarnya tidak ada, namun dari filsafat lah yang memacu pertanyaan-pertanyaan seputar science itu muncul, karena filsafat membuat manusia berpikir why dengan bantuan panca indera mereka. Bisa dikatakan bahwa filsafat itu adalah metode berpikir atau cara berpikir. Saat Harun ar-Rasyid membangun Baitul Hikmah, Ia lebih memprioritaskan pada penerjemahan karya-karya filsafat Yunani, karenanya secara bahasa Baitul Hikmah berarti Rumah Filsafat. Hikmah dalam bahasa Arab diartikan sebagai Kebijaksanaan dan ini merujuk pada Filsafat. Orang Arab menyebut para ahli filsafat sebagai ahli hikmah.

 

 

Comments

Popular posts from this blog

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar part II

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar part III (akhir)