Al-Ghazali dan Usahanya Membentengi Islam dari Pengaruh Filsafat Yunani

 

Bantahan Al-Ghazali Terhadap Para Filsuf


https://en.wikipedia.org/wiki/Islamic_philosophy

Pada tulisan ini, penulis hanya akan menuliskan 3 bantahan Al-Ghazali terhadap para filsuf yang dianggap sebagai indikasi kekafiran.

1.       Bantahan pertama, mengenai kedahuluan alam.

Beberapa filsuf muslim meyakini bahwa alam ini tidak diciptakan dari ketiadan (creatio ex nihilo), melainkan alam ini tercipta dari creatio ex materia (penciptaan dari beberapa materi abadi yang telah ada sebelumnya) atau dengan creatio ex deo (penciptaan yang muncul dari sosok Allah). Sehingga, beberapa filsuf muslim meyakini bahwa penciptaan alam ini pasti didahului oleh beberapa materi abadi yang kuat dan telah ada sebelumnya, yakni Allah. Akhirnya, mereka pun mengadopsi teori emanasi yang berasal dari Plotinus (Neo-Platonisme). Agar lebih meyakinkan, mereka menyertakan Al-Qur’an surah al-Fussilat ayat 11 sebagai penguat argumen mereka,

Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap1, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa." Keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati."  (Q.S Al-Fussilat ayat 11)

Dalam pandangan mereka, penciptaan alam ini harus ada yang memulai, harus berasal dari sesuatu yang ada (lihat nomor 1), singkatnya penciptaan alam ini harus memenuhi hukum sebab-akibat. Mereka menganalogikannya seperti cahaya matahari. Bahwasannya kita mengetahui matahari merupakan zat yang paling powerful di antara benda langit lainnya, dan karenanya matahari ini diibaratkan sebagai Tuhan. Kemudian, hadirnya matahari akan bersamaan dengan sinarnya yang bisa menghidupkan tumbuhan dan lain-lain. Sinar matahari ini dianggap sebagai ciptaan Tuhan yang darinya bisa lahir ciptaan Tuhan yang lain. Saat matahari memancarkan cahaya, saat itulah usaha penciptaan dimulai. Sebab, matahari tidak dapat dipisahkan dari cahayanya namun dari cahayanya itulah bisa menciptakan sesuatu yang lain, oleh karena itu adanya matahari bersamaan dengan cahayanya seperti Tuhan bersamaan dengan alam ini. Maka, alam ini tidak mungkin diciptakan dari nol, pasti ada sesuatu penyebab yang menciptakan alam ini, dan penyebab pertama itulah Allah, sehingga alam ini bersamaan dengan Allah. Jika penciptaan alam ini tidak bersamaan dengan adanya Tuhan, dengan kata lain alam ini diciptakan dari 0, lantas apa yang dilakukan Tuhan pada masa sebelum alam diciptakan. Kalau narasinya adalah Tuhan berdiam diri, maka secara otomatis Tuhan tidak Maha Menciptakan. Begitulah pendapat para filsuf yang cenderung memakai teori Plato, terutama tentang konsep idea, hanya saja nama yang mereka berikan adalah emanasi atau burhan shadiqin (istilah ini dipopulerkan oleh Ibnu Sina).

Kemudian, al-Ghazali membantah anggapan para filsuf tersebut dengan surah Al-A’raaf ayat 54, “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.”

Bahwasannya sudah jelas dalam Al-Qur’an bahwa Allah menciptakan alam ini dalam enam masa, maka kategori alam adalah hadits (baru, karena ia diciptakan). Jika alam ini diciptakan dahulu/azali atau secara bersamaan dengan adanya Tuhan, makan ini tidak mungkin. Sebab, Tuhan tidak boleh sama seperti ciptaan-Nya,

 لَیۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَیۡءࣱۖ وَهُوَ ٱلسَّمِیعُ ٱلۡبَصِیرُ , “Tiada satu pun yg sama dengan Allah. Dan, Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat" [Surat Asy-Syura ayat 11].

Sungguh tidak benar jika alam ini penciptaannya bersamaan dengan adanya dzat yang abadi, sebab Tuhan tidak boleh ada yang menyamai apalagi mendahului.

Tidak berapa lama setelah wafat, Ibn Rusyd berusaha membela para filsuf muslim yang dibantah al-Ghazali dalam bukunya Tahafut-Tahafut (kerancuan dalam kerancuan). Menurut Ibn Rusyd, al-Ghazali telah salah dalam memahami apa yang diyakini oleh para filsuf. Para filsuf berargumen bahwa penciptaan alam ini tidak  dimulai dari ketiadaan 0 adalah karena mereka mempercayai adanya hubungan kausalitas, bahwa jika ada Tuhan (kekuatan pertama) pasti ada alam, dan mereka sedang tidak mempermasalahkan mengenai waktunya (penciptaan) tetapi mengenai substansi alam ini berasal darimana. Ibn Rusyd menuduh al-Ghazali menolak hukum sebab-akibat (kausalitas).

Lihat Kritik al-Ghazali tentang Teori Emanasi

2.  Bantahan kedua, mengenai Tuhan hanya mengetahui perkara-perkara mujmal (umum) dan bukan hal-hal parsial atau khusus.

Para filsuf muslim meyakini bahwa Tuhan hanya mengetahui perkara-perkara mujmal (umum/universal) dan tidak mengetahui hal-hal parsial atau khusus (juz’iyat). Mereka berpandangan seperti itu karena terpengaruh ide eternal motion dari Aristoteles, yang menyatakan bahwa,

For as in motion “the first mover” is unmoved, so among the active powers “the first agent” is unaffected.” [Dengan demikian, (sebagaimana yang telah kami katakan), beberapa daya aktif adalah tidak dipengaruhi, sedangkan yang lainnya cenderung dipengaruhi; dan apa yang berlaku pada gerakan berlaku pula pada daya-daya aktif. Karena sebagaimana dalam gerakan, Penggerak Pertama tidak digerakkan, maka demikian pula daya-daya aktif, Sebab Pertama itu tidak dipengaruhi.]

Penggerak pertama yang dimaksud adalah Tuhan. Maka, seharusnya sebagai penggerak pertama Tuhan tidak bisa dipengaruhi atau digerakkan (mover unmoved). Apabila Tuhan menggerakkan matahari dan bulan, maka Tuhan tidak boleh mendapat pengaruh efeknya (siang dan malam). Sehingga, Tuhan hanya mengetahui bahwa matahari dan bulan bisa bergerak (berevolusi atau berotasi), tetapi Tuhan tidak bisa mengetahui pengaruh pergerakan matahari yakni siang dan malam, bahkan berapa lama waktu siang dan waktu malam tidak boleh diketahui oleh Tuhan. Jika Tuhan bisa mengetahui berapa lama waktu siang dan malam itu terjadi, maka Tuhan tidak bisa disebut sebagai Tuhan lagi, sebab sudah mengetahui waktu kapan siang dan malam terjadi, artinya Tuhan bisa memasuki dimensi ruang dan waktu.

Ambil contoh yang lain, misalnya api yang bisa membakar sesuatu. Maka yang harus diketahui Tuhan hanyalah api yang bisa membakar saja. Jika terjadi kebakaran di Gunung Manglayang pada malam jum’at, maka Tuhan tidak mengetahui. Sebab, jika Tuhan mengetahui api yang membakar itu di Gunung Manglayang dan terjadi di hari malam jum’at, itu artinya Tuhan bisa memasuki dimensi waktu dan ruang, dan mustahil bagi Tuhan untuk menembus dimensi waktu dan ruang, jika Tuhan berhasil menembusnya maka Tuhan bisa terukur oleh manusia dan aspek ketuhanannya akan gugur seketika. Tuhan adalah penggerak pertama yang tidak dipengaruhi. Semua hal-hal khusus (juz’iyat) terjadi karena adanya sebab-akibat bukan karena Tuhan, sementara hal-hal yang umum/ universal diketahui oleh Tuhan, karena Dia-lah yang menciptakan.

Al-Ghazali membantah pandangan ini dengan sebuah contoh. Jika orang buta kemudian ia melakukan operasi mata, maka ia bisa melihat. Tetapi, apakah orang yang bisa melihat masih tetap bisa melihat jika ia ditempatkan di ruangan yang gelap ? tentu, seketika ia menjadi orang buta meski ia bisa melihat. Dari contoh tersebut bisa kita ambil kesimpulan bahwa sesuatu itu terjadi karena banyak sebab, dan sebab tersebut tidak menentu, dan salah satu sebab terjadinya sesuatu itu adalah Tuhan. Al-Ghazali tidak menolak hukum kausalitas, yang digarisbawahi oleh Al-Ghazali adalah adanya peran Tuhan dalam setiap kejadian di alam ini, karena hukum kausalitas itu tidak menentu dan kadang bermacam-macam, namun peran Tuhan itu dipastikan selalu ada. Kemudian, al-Ghazali kembali mencontohkan bahwa hukum kausalitas itu ada tapi tidak selalu menentu, misal Maryam mengandung Nabi Isa AS. Ada akibat yakni Maryam mengandung Nabi Isa As, namun tidak ada sebab yakni tidak diketahui siapa bapaknya Nabi Isa AS. Namun, tangan Tuhan ada dan berperan dalam kehamilan dan kelahiran Nabi Isa AS. Satu lagi contoh, yakni saat Nabi Ibrahim AS dibakar raja Namrud, ada api yang bisa menjadi sebab Ibrahim terbakar, tetapi tidak ada akibat yang menyebabkan Nabi Ibrahim mati atau terbakar, justru Ibrahim malah hidup. Dari kisah tersebut bisa diambil kesimpulan kadang ada sebab tapi tidak ada akibat, kadang ada akibat tapi tidak ada sebab, maka hukum kausalitas tidak selalu bekerja secara relational (tak menentu). Hal ini senada dengan contoh, mengapa Tsunami di Aceh tahun 2004 hanya menyerang penduduk Aceh, mengapa penduduk Jawa tidak terkena gelombang tsunami ?. Jawabannya yah karena ada takdir Tuhan di sana. Sebab, kalau kita menelaah peristiwa ini dengan hukum kausalitas tidak akan bertemu jawabannya. Jika hukum sebab-akibat itu bekerja, sebab = gelombang tsunami, akibat = manusia mati, maka hanya akan berhenti di kesimpulan bahwa manusia bisa mati karena gelombang tsunami. Tetapi, mengenai kenapa tsunami itu menimpa orang Aceh bukan orang Jawa, tentu ini ada tangan Tuhan yang bermain di dalamnya tidak mungkin karena kausalitas semata. Jika Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang sifatnya khusus seperti yang dikatakan oleh para filsuf, maka tsunami itu tidak mungkin terjadi di Aceh dan menimpa penduduk Aceh. Sehingga, menurut Al-Ghazali Tuhan itu mengetahui hal-hal yang khusus dan umum/universal, sebab Tuhan adalah Maha Mengetahui dan Maha Mengatur seluruh yang diciptakan, maka semua peristiwa yang terjadi di alam dunia ini tidak luput dari tangan dan pengetahuan Tuhan.

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?” (Q.S. Yunus ayat 3)

 

Karena pandangannya ini, Al-Ghazali menurut Ibn Rusyd dipandang lebih membela mukjizat dan menolak kausalitas (hukum alam/sebab-akibat).

3.   Bantahan ketiga, hanya ruh (dan bukan jasad) yang akan dibangkitkan di hari akhir.

Para filsuf muslim, hampir semuanya meyakini bahwa ruh saja yang akan dibangkitkan. Mereka berpandangan demikian karena terpengaruh teori keabadian jiwa dari Plato. Plato mengatakan bahwa setelah kematian pun jiwa tetap ada, dia percaya bahwa saat tubuh fisik musnah, jiwa terus hidup dengan tubuh baru pada alam berikutnya (reinkarnasi). Plato dalam teorinya juga menyatakan bahwa saat manusia meninggal, jasadnya akan menjadi tanah yang kemudian di serap oleh makhluk di sekitarnya, sementara jiwa akan naik menuju pemilik idea (Tuhan), sebab jiwa diklasifikasikan oleh Plato sebagai idea yang paling sempurna. Menurut ajaran Plato, hakikat kebenaran itu terdapat di dalam idea manusia. Segala sesuatu yang ada di luar diri manusia itu sebetulnya hanyalah merupakan bayangan saja dari pada yang telah ada di dalam dunia idea manusia. Dengan ajaran inilah Plato menjadi Akhil pemikir yang pertama yang menerima paham adanya alam tanpa benda, alam serba cinta, dan pikirannya itu timbul karena pengaruh pergaulannya dengan kaum sofist. Dengan demikian ia selalu beranggapan bahwa segala pengetahuan yang diperoleh hanya dengan melalui panca-indera itu sifatnya adalah relatif, karena pengetahuan sempurna itu hanya dapat dilahirkan oleh alam rohani (alam idea).

Sehingga, mereka meyakini adanya reinkarnasi dan kebangkitan ruh bukan jasad. Di Akhirat nanti, manusia akan disiksa ruhnya saja bukan jasadnya, maka siksa kubur itu tidak ada, dan siksa neraka juga tidak ada, tidak perlu takut otak mendidih di neraka sebab yang disiksa hanyalah ruh bukan jasad. Jasad habis berevolusi menjadi dzat-dzat lain, bisa itu fossil atau kompos, yang abadi hanyalah ruh. Titik berat pandangan ini adalah bahwasannya tubuh (jasad) itu berbeda dari ruh, antara ruh dan jasad adalah dua hal yang berbeda, menurut Plato ini merupakan teori dualism jiwa. Mereka, menguatkan argumen mereka dengan ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa ruh berbeda dari jasad,

“Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan roh (ciptaan)-Nya ke dalam (tubuh)nya dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati bagimu, (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.” (Q.S As-Sajdah ayat 9) 

نَزَلَ بِهِ ٱلرُّوحُ ٱلْأَمِينُ

Artinya: Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril),” (Q.S As-Syuara ayat 193).

“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (Q.S. Al-Fajr [89]: 27-30)

 

Al-Ghazali membantah ini dengan firman Allah,

“Dan dia membuat perumpamaan bagi kami; dan melupakan asal kejadiannya; dia berkata, “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh?” Katakanlah (Muhammad), “Yang akan menghidupkannya ialah Allah yang menciptakannya pertama kali. Dan Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk”. (Q.S. Yasin : 78-79)

“Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kami-lah yang akan melaksanakannya.” (Q.S al Anbiya/21:104) 

Dari Abu Hurairah ra “Sesungguhnya pada diri manusia ada satu tulang yang tidak dimakan tanah selamanya. Padanya manusia disusun (kembali) pada hari Kiamat”. Mereka bertanya,”Tulang apakah itu, wahai Rasulullah?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Tulang ekor“. (HR. Bukhari Muslim)

“Disinilah orang kafir berkata:”Aduh celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” Sedangkan mukmin menyatakan : “Inilah yang dijanjikan (Rabb) Yang Maha Pemurah dan benarlah rasul-rasul(Nya)”. (Q.S. Yasin : 52)

Menurut Al-Ghazali, yang akan dibangkitkan adalah ruh yang sudah dikembalikan pada jasad. Jasad akan merasakan siksa karena manusia dibangkitkan beserta jasadnya. Redaksi dari Al-Qur’an dan Hadits juga lengkap mengenai hal ini. Bahkan dalam surat Yasin ayat 52 jelas dikatakan bahwa orang yang tidak mempercayai kebangkitan hari akhir disebut sebagai kafir.

        Sungguh, al-Ghazali memang layak mendapatkan gelar Hujjatul Islam. Jasanya yang begitu besar dalam membentengi pemikiran umat kala itu dari serangan filsafat belum ada yang bisa menandingi sampai hari ini. Semoga Allah memberikan ampunan dan syafaat-Nya kepada ulama hebat kita yang satu ini. Meski di belahan bagian Barat banyak yang menghujat. Namun, keikhlasan dan dedikasi beliau melindungi Islam dari pemikiran asing sangat luar biasa, dan Barat hanya tidak mengetahui ini dari sisi yang sama dengan apa yang kita yakini.  

        Semoga, banyak di masa depan generasi Islam yang meneruskan perjuangan beliau untuk menangkal dominasi pemikiran Barat yang saat ini masih menggerogoti tubuh umat Islam. Semoga banyak mujtahid yang lahir seperti beliau di masa depan. Semoga penulis juga masuk salah satu kategorinya hehe ….semoga (amiiin yang kenceng)…



 

 

Comments

Popular posts from this blog

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar part II

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar part III (akhir)