Filsafat Islam

 

Al-Farabi

https://www.cnnindonesia.com/teknologi/al-farabi-filsuf-muslim-setara-aristoteles-yang-mahir-sains

1.   Al Farabi adalah nama besar dalam sejarah filsafat Islam setelah al-Kindi, beliau benar-benar mempunyai kedudukan istimewa. Atas jasanya, Ibnu Sina bisa memahami buku Metaphysics Aristoteles setelah 40 kali lebih membacanya tidak paham kemudian beliau baru paham setelah membaca buku Aghradh ma Ba'da al-Thabi'ah. Al Farabi dilahirkan di Wasij, sebuah wilayah yang berdekatan dengan Farab, Transoxiana. Beliau dipercaya sebagai keturunan Turki, anak seorang jenderal pada zaman Abbasiyah. Dari kampungnya, al-Farabi pergi ke Baghdad, yang selama kurun 10 Masehi masih terkenal sebagai pusat studi sains. Di sini beliau bertemu dengan filsuf yang terkenal Abu Basyr Matta bin Yunus yang terkenal sebagai ahli logika paling hebat pada zamannya. Kepada beliaulah al-Farabi belajar logika selama 20 tahun. Al-Farabi menetap di Baghdad, kemudian berpindah ke Aleppo pada tahun 330 H/ 942 M, yang waktu itu juga merupakan pusat kajian sains. Beliau berpindah ke Damaskus pada tahun 331 H/943 M dan menetap di Mesir tahun 337 H/949 M, ketika Damaskus menjadi wilayah pemerintahan Mesir. Kemudian beliau kembali ke Damaskus pada tahun 338 H/950 M, dan wafat di sini pada tahun 339 H/951 M.

2.   Seperti halnya al-Kindi, al- Farabi juga telah melakukan kompromi antara agama dengan filsafat. Ini nampak dalam bukunya yang telah menyejajarkan kedudukan filsuf dengan nabi :

“Jika bentuk alam (nature) adalah bahan akal pasif (yang telah berubah menjadi akhlak actual [‘aql bi al-fi’l]). Sedangkan (akal) pasif adalah bahan (akal) al-mustafad (pemanfaatn), dan (akal) al-mustafad adalah bahan akal aktif, yang seluruhnya diambil sebagai satu kesatuan. Maka orang ini adalah orang yang telah mempunyai akal aktif.”

3.  
    “Jika keadaan tadi terdapat pada masing-masing dari dua bagian daya intelek, baik yang teoritis maupun praktis kemudian terdapat dalam daya imajinasinya, maka orang ini adalah orang yang diberi wahyu. Allah yang Maha Agung dan Tinggi akan memberikan wahyu kepadanya melalui akal aktif, sehingga apa yang dipancarkan dari Allah yang Maha Tinggi kepada akal aktif dipancarkan oleh akal aktif kepada akal pasif melalui akal al-mustafad, kemudian daya imajinasinya. Dengan apa yang dipancarkan (oleh akal aktif) kepada akal pasifnya, ia (orang tadi) akan menjadi orang yang bijaksana, filsuf dan intelektual yang sempurna, dan dengan apa yang dipancarkan (oleh akal aktif) kepada daya imajinasinya ia akan menjadi nabi pemberi peringatan terhadap apa yang akan ada, dan pemberi berita mengenai sebagian wujud yang ada sekarang agar dapat memahami ketuhanan.” (al- Farabi, Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah, Dar al-Masyriq, Beirut 1968, hlm 125).

Dari pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa manusia mempunyai daya intelek (al-quwwah al-nathiqah) dan imajinasi (al-quwwah al-mutakhayyilah). Daya intelek yang teremanasi oleh akal aktif inilah yang melahirkan filsafat dan orangnya disebut filsuf, sedangkan daya imajinasi yang teremanasi oleh akal aktif inilah yang melahirkan agama dan orangnya disebut nabi.

4.    Pernyataan al-Farabi yang lain, misalnya :

“Sedangkan pandangan teoritis yang terdapat dalam agama bukti-buktinya terdapat dalam bidang filsafat teoritis, sementara dalam agama ia (pandangan teoritis tersebut) diambil tanpa sembarang bukti. (al-Farabi, Kitab al-Millah wa Nushush Ukhra, hlm. 47). Pernyataan ini dengan jelas mengklaim bahwa pandangan teoritis dalam agama merupakan hasil imajinasi yang teremanasi oleh wahyu Allah sehingga tidak dapat dibuktikan melalui pembuktian apapun, sebaliknya pandangan teoritis filsafat merupakan hasil daya intelektual yang bisa dibuktikan rasionalitasnya.

5.   Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa Al Farabi berusaha mengkompromikan kedudukan filsafat dengan agama. Usaha beliau membuktikan tidak bertentangannya filsafat dengan agama, misalnya boleh dimanfaatkan sebagai alat dalam melakukan pembuktian seperti yang dilakukan oleh al-Kindi sebelumnya, kenyataannya jelas berbeda. Al-Farabi justru menominasikan kedudukan filsafat melebihi agama dengan menyatakan :
     “Jadi, syariat-syariat unggul, semuanya merupakan bagian dari keseluruhan dalam bidang filsafat praktis.”

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemikiran al-Farabi adalah filsafat bukan Islam, bukti yang menguatkan kesimpulan tersebut di samping pernyataan-pernyataan di atas adalah kegigihan al-Farabi dalam mempertahankan pandangan Plato dan Aristoteles bahkan dengan mati-matian berusaha mengkompromikan filsafat kedua tokoh ini pembelaannya kepada Plato.

6.    Apa yang menonjol pada al-Farabi adalah sikap apriorinya kepada kedua tokoh ini, seperti yang nampak dalam pernyataannya:
    “Perbedaan pandangan di antara kedua orang bijak ini dalam banyak cabang filsafat, persoalannya tidak terlepas dari satu di antara tiga hal: Mungkin batasan yang menjelaskan tentang hakikat filsafat tersebut tidak tepat, dan mungkin karena pandangan semua orang atau mayoritasnya, serta keyakinan mereka mengenai cara berfilsafat kedua tokoh ini tidak jernih, dan mungkin juga karena dangkalnya pengetahuan orang-orang yang menuduh keduanya bahwa di antara mereka terdapat perbedaan yang mendasar.”

7.   Untuk mendukung sintesisnya al-Farabi juga menakwilkan pernyataan Aristoteles dalam buku al-Sama’ wa al-‘alam yang menyatakan “Sesungguhnya alam ini tidak mempunyai permulaan masa.” Secara tekstual jelas menyatakan bahwa alam ini adalah dahulu (azali), pandangan ini juga diperkuat oleh pandangan Aristoteles yang lain seperti pandangan tentang keazalian gerak (eternal motion) dalam buku Physics dengan teori emanasi (nazhariyyah al-faydh)-nya, al-Farabi kemudian membahas kosmologi sebagai berikut :

“Allah yang Maha Tinggi, Mengetahui dan Bijaksana, dan bahwa Dia Haq, Hidup dengan kehidupan. Eksistensi-Nya yang menjadi sumber eksistensi yang lain tidak mungkin zatnya ada berbeda dengan-Nya (la yumkinu an yakuna ghyra al-ladzi huwa bihi dzatihi mawjud)… Juga karena Dia bukan bahan (matter).., maka dia substansi-Nya adalah akal actual. Inilah keadaan wujud yang pertama. Jadi, dengan demikian, Dia adalah akal aktual… Yang Pertama itulah yang darinya ada (yang lain). Jika telah ada bagi yang pertama kali ada, dimana ia merupakan eksistensinya, pasti akan ada eksistensi lain….. Eksistensi sesuatu yang diciptakan darinya tidak lain adalah melalui eksistensinya memancarkan eksistensi sesuatu yang lain. Sedangkan eksistensi tersebut banyak… Substansinya adalah substansi yang darinya memancarkan semua wujud. Dari yang pertama memajarkan wujud yang kedua. Wujud kedua ini adalah substansi, tidak berjisim, juga tidak berbentuk bahan (matter). Dia mengerti zatnya,  dan zat yang pertama… Berdasarkan apa yang dimengerti dari yang pertama, memastikan darinya wujud eksistensi ketiga.”.

Baca : Teori Emanasi (Neo-Platonisme) dari Plotinus 

8.   Dari sini, al-Farabi mencoba merasionalkan semua wujud sebagai substansi yang sama, yang tidak terdiri dari bahan (matter), tetapi tetapi substansi (jawhar), yaitu akal.  Semuanya ini karena eksistensi wujud tadi diimajinasikan seperti sinar atau cahaya dengan matahari, atau antara pancaran, dengan sumber pancaran. Dari sini lahir istilah akal pertama kedua hingga kesepuluh. Dengan teori ini juga, al-Farabi telah menyatakan konsep kedahuluan alamnya:
     ”Karena itu, eksistensi sesuatu yang wujud dari-Nya pada dasarnya waktunya tidak berbeda dengan (eksistensi)-Nya, tetapi ia hanya berbeda dalam aspek perbedaan yang lain.”

9.   Al-Farabi menyatakan bahwa jasad-jasad tidak akan dibangkitkan, atau dengan kata lain bahwa al-Farabi mengamini teori keabadian jiwa dari Plato.

Comments

Popular posts from this blog

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar part II

Sekapur Sirih untuk Tulisan “Membongkar Tabu dalam Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” oleh Krisna Wahyu Yanuar part III (akhir)